(Oleh : Dr. Paulus Januar)
Meimonews.com – Kelainan refraksi (refractive error) merupakan gangguan penglihatan yang paling banyak dialami. Diperkirakan, lebih dari setengah penduduk dunia menderita kelainan refraksi.
Secara global, kelainan refraksi menyebabkan sekitar seperlima dari seluruh kasus kebutaan. Kelainan refraksi merupakan penyebab kebutaan kedua setelah katarak.
Kelainan refraksi yang terbanyak adalah miopia (rabun jauh). Selain itu, terdapat pula hipermetropia (rabun dekat), astigmatisme (mata silindris), presbiopia (rabun dekat usia lanjut).
Miopia atau rabun jauh adalah gangguan tidak dapat melihat obyek yang jauh dengan jelas. Hipermetropia atau rabun dekat adalah gangguan tidak dapat melihat obyek yang dekat dengan jelas.
Astigmatisme atau mata silindris adalah gangguan penglihatan menjadi buram ataupun mengalami distorsi dalam melihat obyek yang dekat maupun jauh.
Presbiopia atau rabun dekat usia lanjut adalah gangguan pada daya akomodasi lensa mata yang berkurang, umumnya pada usia di atas 40 tahun, hingga kemampuan melihat dekat serta membaca berkurang.
Mengatasi kelainan refraksi umumnya dengan mengenakan kacamata koreksi. Selain itu dapat dengan menggunakan lensa kontak. Kemudian, dapat pula dilakukan bedah retraktif seperti LASIK (Laser-Assisted In Situ Keratomileusis) maupun dapat dilakukan dengan menanamkan lensa intraokular di mata.
Berdasarkan World Report on Vision, diperkirakan di seluruh dunia terdapat 4,7 miliar orang yang mengalami kelainan refraksi dan memerlukan tindakan koreksi. Namun, ternyata, dari mereka yang mengalami kelainan refraksi, 2,7 miliar di antaranya tidak dikoreksi dan sebagian besar merupakan penduduk negara berkembang.
SPECS 2030 : Mengatasi Kelainan Refraksi dan Mengupayakan Asesibilitas Kacamata Koreksi
Pada 14 Mei 2024 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meluncurkan SPECS 2030 initiative. SPECS 2030 merupakan inisiatif agar setiap orang yang membutuhkan perawatan kelainan refraksi mendapatkan pelayanan kesehatan mata yang berkualitas, terjangkau, dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat.
Dengan dilaksanakannya SPECS 2030 diharapkan dapat dicapai target global yakni pada tahun 2030 terdapat peningkatan cakupan efektif pelayanan kelainan refraksi sebesar 40 persen. Target tersebut ditetapkan pada Pertemuan Kesehatan Dunia (World Health Assembly) di tahun 2021.
SPECS 2023 dikonotasikan pada singkatan dari spectacles yang dalam bahasa Inggris berarti kacamata. Selanjutnya, program utama yang dilaksanakan dirumuskan sebagai SPECS yang merupakan akronim dari :pertama, Services : pengembangan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mata, terutama untuk mengatasi kelainan refraksi; Kedua, Personnel : pengembangan kapasitas tenaga kesehatan mata.
Ketiga, Education : meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kesehatan mata; Keempat, Cost. mengatasi pembiayaan kacamata dan pelayanan kesehatan mata; Kelima, Surveilance: meningkatkan pengumpulan data dan penelitian
Selama ini, terdapat kebutuhan pelayanan kesehatan mata untuk mengatasi kelainan refraksi yang tidak dapat terpenuhi. Padahal terdapat cara yang tidak terlalu sulit dan relatif tidak berbiaya tinggi untuk mengatasinya yaitu dengan mengadakan kacamata untuk mengkoreksi kelainan refraksi.
SPECS 2023 terutama ditujukan agar mereka yang mengalami kelainan refraksi dan tidak dikoreksi dapat memperoleh kacamata. Dalam rangka mewujudkannya dibutuhkan kolaborasi dalam tingkat global hingga dapat terlaksana peningkatan yang signifikan dalam cakupan pelayanan kesehatan mata untuk mengatasi kelainan refraksi.
Dengan SPECS 2030 diharapkan dapat menunjang upaya agar setiap orang akan memiliki penglihatan yang baik. Dengan penglihatan yang baik maka dapat mengaktualisasikan potensi diri untuk kehidupan yang lebih baik.
Penanggulangan Kelainan Refraksi di Indonesia
Program penanggulangan kelainan refraksi di Indonesia merupakan bagian dari pelaksanaan Peta Jalan Penanggulangan Gangguan Penglihatan 2017-2030 yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peta jalan tersebut merupakan rencana kerja penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan di Indonesia untuk kurun waktu 2017-2030.
Pelaksanaan Peta Jalan Penanggulangan Gangguan Penglihatan 2017-2030 terintegrasi dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dijalankan oleh Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan).
Tujuan umum yang hendak dicapai adalah tersedianya pelayanan kesehatan mata yang berkualitas untuk seluruh masyarakat lndonesia yang membutuhkan tanpa adanya hambatan ekonomi sehingga setiap orang di Indonesia mempunyai penglihatan optimal dan dapat sepenuhnya mengembangkan potensi diri.
Berdasarkan Peta Jalan tersebut penanggulangan gangguan penglihatan di lndonesia dibagi menjadi dua. Pertama, mengatasi gangguan penglihatan akibat katarak yang merupakan penyebab terbesar terjadinya kebutaan. Kedua, mengatasi gangguan penglihatan bukan akibat katarak seperti kelainan refraksi, retinopati diabetikum, glaukoma, retinopati prematuritas, dan low vision. Khusus untuk kelainan refraksi prioritasnya adalah menjamin terkoreksinya penglihatan anak usia sekolah yang mengalami kelainan refraksi.
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) yang diselenggarakan Kementerian kesehatan pada tahun 2023, hasilnya menunjukkan disabilitas atau ketidakmampuan penglihatan dialami 0,6 persen penduduk. Sedangkan 11,7 persen penduduk menggunakan alat bantu penglihatan kacamata, lensa kontak, dan lensa tanam.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82/2020, mengenai penanggulangan gangguan penglihatan ditetapkan target pada tahun 2030 tercapai penurunan prevalensi gangguan penglihatan sebesar 25 persen dari prevalensi di tahun 2017. (Penulis adalah staf pengajar dan Akademi Refraksi Optisi Kartika Indra Persada Jakarta)