(Oleh : Lexie Kalesaran)

Meimonews.com – Sejumlah perwira tinggi (Pati) Mabes Polri diberhentikan dari jabatannya terkait dengan ‘kasus Joko Candra’ yang lagi mengemuka dan ramai diperbincangkan beberapa waktu belakangan ini.

Bahkan, ada yang sedang dalam proses hukum. Bila ada oknum yang lain, yang turut terlibat maka diyakini akan ada konsekuensinya. Ada sanksinya.

Tindakan tegas dan terukur seperti begini senantiasa dilakukan pimpinan Polri sesuai tingkatannya terhadap personilnya yang melakukan pelanggaran baik etika/profesi maupun pidana.

Sudah barang tentu, tindakan yang dilakukan sesuai prosedur tetap (protap) yang ada. Ada laporan dan ada bukti yang cukup.

Jadi, kalau seorang atau kelompok orang menemukan ada kejanggalan atau kesalahan penanganan suatu perkara oleh personil kepolisian atau ada oknum polisi melakukan pelanggaran kode etik atau pelanggaran hukum/tindak pidana, silahkan membuat laporan ke SPKT (Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu).

Nanti, berdasarkan laporan yang ada akan difollow-up, ditindaklanjuti sesuai mekanisme atau protap yang ada/berlaku.
Laporan yang masuk, bila telah memenuhi unsur (memiliki bukti permulaan yang cukup dan bisa dilanjutkan ke proses selanjutnya) akan diteruskan/diproses lebih lanjut.

Dalam mekanisme ini, ada pengawas penyidik (pawas) yang memonitor/mengawasi proses penanganan oleh penyidik. Akan ada konsekuensi bila penyidik suatu perkara tidak melakukan atau sengaja melambat-lambatkan proses penanganan suatu perkara.

Protap atau mekanisme begini telah menjadi kelaziman di institusi Polri di semua tingkatan. Langkah demikian sejalan dengan perwujudan kebijakan/program Polri yakni Promoter (profesional, modern dan terpercaya) serta humanis.

Itulah sebabnya,.tidaklah bijaksana atau tidak tepat bila ada warga yang mungkin tidak setuju/keberatan terhadap penanganan suatu perkara oleh penyidik atau institusi kepolisian tingkatan tertentu memposting di media sosial (medsos) seperti facebook (fb).

Menjadi pertanyaan, apakah langkah itu bijaksana/efektif untuk penyelesaian masalahnya ? Apakah tidak berdanpak hukum (melanggar KUHP atau UU ITE) bila ternyata tidak punya cukup bukti ?

Seyogianya, warga (siapapun dia dan dalam kedudukan apapun) menggunakan mekanisme yang ada dan tidak menggunakan cara-cara dan ukurannya sendiri-sendiri tanpa memperhatikan dampak/efek yang ditimbulkannya.

Kalau mekanisme yang ada (telah melaporkan kasus/kajadiannya ke SPKT sudah ditempuh namun belum ada ‘tanda-tanda’ tindak lanjut, silahkan mempertanyakan SPKT atau bagian/bidang terkait termasuk Propam (Profesi dan Pengamanan) yang berhubungan dengan etika/profesi kepolisian, soal perkembangan kasus/kejadian yang telah dilaporkan.

Bila belum ada ‘tanda-tanda’ perkembangan atau ada kesengajaan dari ‘oknum’ yang ada di SPKT atau bagian/bidang terkait yang tidak memberikan informasi perkembangan laporan yang ada, maka sampaikan ke pimpinan mereka atau pimpinan institusi Polri sesuai tingkatannya.

Kalaupun terlihat ada ‘tanda-tanda’ kesengajaan untuk memperlambat atau tidak memprosesnya padahal diyakini pelapor kasus/kejadiannya telah memiliki alat bukti yang cukup (memenuhi unsur) sebagaimana diatur dalam KUHP atau kode etik kepolisian, silahkan sampaikan/laporkan ke pimpinan institusi di atasnya, bahkan bisa ke Mabes.

Bila pelapor menempuh/mengikuti mekanisne seperti ini, diyakini laporannya didengar dan ada tanggapannya. Bila ditemukan ada ‘oknum’ Polri yang ‘bermain’ dalam kasus yang nyatanya telah memenuhi unsur dan seharusnya diproses lebih lanjut maka diyakini akan ada sanksi terhadap ‘oknum’ tersebut.

Ada sejumlah bukti bahwa pimpinan institusi Polri memberikan sanksi mulai dari ringan, sedang sampai berat seperti pemecatan terhadap ‘oknum’ Polri yang tidak melaksanakan tugas pokoknya sebagaimana diatur dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, memberikan pelrindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.