Meimonews.com – Konsultan pada Diskasteri untuk Kebudayaan dan Pendidikan dan Sekretaris Eksekutif Himpunan Para Pemimpin Umum Tarekat Wanita (Union International of Superior General UISG Sr. Patricia Murray IBVM sangat mengapresiasi budaya Minahasa.

Apresiasi itu disampaikan Suster Patricia di awal pemaparannya pada Culture Sharing bertemakan The role of culture in education (Peran Kebudayaan dalam Pendidikan) yang diselenggarakan Yayasan Joseph Esa Ene (milik Tarekat SJMJ) di Rumah Budaya Wale Ma’zani Wailan Tomohon, Rabu (17/4/2024).

Suster Patricia mengungkap apresiasinya setelah menyaksikan pertunjukan budaya Minahasa saat dia dan tamu undangan diterima di Wale Ma’zani, yang sangat kaya dengan instrumen musik, tarian dan lagu, pakaian dan makanan, bahasa serta artefak budaya yang ada di sana.

“Semuanya ini menampakkan apa yang ada, yang jauh di balik yang kelihatan yakni nilai-nilai budaya, sistem kepercayaan, perayaan (selebrasi), serta relasi antar manusia. Sungguh sebuah komunitas budaya yang sangat kaya,” ujarnya.

Suster Patricia mengingatkan, apa yang tampak dalam sebuah kebudayaan hanyalah puncak gunung es di lautan yang hanya kelihatan sebagian kecil dibanding apa yang ada dalam air yang tak kelihatan. Ia mengingatkan, budaya di satu pihak dapat mempersatukan, namun di pihak lain dapat memisahkan kita.

Sr. Patricia Murray IBVM

Suster Patricia lantas membagikan pengalamannya sebagai seorang Irlandia yang bangsanya pernah dijajah oleh Inggris. Inggris berusaha untuk menggantikan budaya Irlandia dengan budaya Inggris. Karena itu, orang Irlandia berusaha untuk merebut kembali budaya mereka yang berbeda dengan Inggris.

Ditegaskan, budaya adalah jiwa sebuah bangsa. Budaya sebagai jiwa sifatnya sangat hakiki untuk menunjukkan jati diri kita, identitas kita, siapakah kita sebenarnya. Karena itu anak-anak Irlandia diajarkan untuk mendalami budaya mereka. Dengan mengenal siapakah diri mereka membuat mereka percaya diri ketika menjadi bagian dari warga dunia karena merasa aman dengan identitasnya.

Sr. Patricia Murray IBVM dan Dosen Universitas IAIN Kalijaga Prof. Syafaatun Almirzanah, M.A., M.Th, Ph.D, D.Min dan beberapa tamu/undangan makan siang dengan menu dan peralatan khas Minahasa

‘Identitas budaya menjadi bagian dari pendidikan yang holistik untuk mengembangkan karakter dan kepribadian, fisik maupun psikis, untuk bertumbuh secara manusiawi dan berbudaya. Semakin kuat identitas semakin kepercayaan dirinya meningkat,” ujarnya.

menurutnya, saat ini kita dibombardir oleh budaya global yang membuat kita berusaha untuk menirunya dan akhirnya membuat kita kehilangan identitas. Karena itu sangat penting mengakui dan meneguhkan budaya kita sendiri sehingga kita dapat menghidupi perasaan terdalam mengenai siapakah kita yang sesungguhnya yakni jiwa kita.

“Oleh karena itu sangatlah penting di sekolah kita mempromosikan budaya lokal, musik, tarian, drama, serta menciptakan dan mengembangkan budaya yang baru secara kreatif sambil melanjutkan warisan budaya. Orang Irlandia telah bermigrasi ke berbagai bangsa, ke Australia, Amerika Serikat, Amerika Latin, Rusia,” sebutnya.

Menurutnya, seluruh dunia kini dapat menyaksikan tarian Irlandia yang telah bertransformasi sesuai dengan konteks bangsa-bangsa tersebut. Ketika diadakan festival budaya terciptalah pelbagai kekayaan budaya Irlandia sesuai konteks masing-masing.

“Kembangkanlah budayamu. Kreatif mengembangkan budayamu, dorong masyarakat untuk menghidupi nilai-nilai budayanya. Terus mengisahkan cerita-cerita budaya. Tetap memeliharanya di rumah masing-masing tapi juga membagikannya kepada yang lain,” pintanya.

Saat pelaksanaan Culture Sharing

Jadikan budaya sebagai jembatan antar budaya. Terus menerus memperkayanya secara kreatif. Baik dalam hidup sehari-hari (Popular culture) maupun lewat drama-musik-tarian (High culture).

Diingatkan bahwa budaya dapat memisahkan atau memecah-belah. Pengalaman Irlandia dan Inggris adalah contohnya. Di Belfast terlihat jelas perpecahan antara Irlandia dan Inggris seakan sebagai perpecahan antara Katolik dan Protestan. Di sana diberi label religius atau keagamaan padahal yang ada adalah perbedaan budaya.

Sampai perbedaan warna pun dihubungkan dengan agama. Yang hijau adalah Katolik dan yang oranye adalah Protestan. Perbedaan warna ini mengajarkan siapa teman dan siapa orang lain, siapa yang sama dan siapa yang berbeda. Akhirnya perbedaan menjadi sesuatu yang menakutkan bukannya sesuatu yang perlu dirayakan.

“Oleh sebab itu pentinglah untuk mendalami keunggulan budaya sendiri dan menjadikannya nilai dalam diri sendiri (innerself). Budaya menjadi jiwa dan bukan lagi sesuatu yang bersifat luaran,” tandas Suster Patricia seraya menyebutkan bahwa ia melihat di Manado ini nilai kemurahan hati (generosity) dan nilai-nilai budaya yang melimpah yang menjadi kebanggaan masyarakat Minahasa.

Tantangan bagi kita sekarang, khususnya dalam dunia pendidikan, menurutnya, adalah bagaimana kita melihat nilai-nilai yang dalam yang berlaku dalam praktek hidup sehari-hari. Bagaimana kita membantu para murid untuk menghargai perbedaan-perbedaan yang ada, melihat pelbagai kekayaan dalam budaya sebagai harta karun yang perlu dibagikan.

Untuk mereka dapat mengerti satu sama lain, dan menjadi kaya oleh multi kultur. Agar terjadi suatu hubungan antar budaya yang saling memperkaya dan saling memperbaharui. Kita menjadi saudara atau sahabat.

“Inilah tanggungjawab pendidikan untuk menjadikan budaya sebagai jembatan yang saling menghubungkan. Strangers are friends we are to meet” (Orang asing adalah sahabat-sahabat yang akan kita temui). Untuk itu perlulah mengintegrasikan nilai-nilai kebudayaan, kemanusiaan, ke dalam kurikulum,” sarannya.

Ditambahkan, menjadikan mata pelajaran misalnya geografi, selain belajar mengenai berbagai bangsa dan tempat, serentak menjadi kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai moral perdamaian antar bangsa. Demikian juga mata pelajaran lain seperti statistik, menjadi kesempatan untuk menggali makna kehidupan.

Pembelajaran menjadi kesempatan untuk berdialog, berkomunikasi, bekerjasama dan berpartisipasi. Dengan demikian Cultural Competency menjadi salah satu kompetensi yang sangat diperlukan sekarang ini. Termasuk dalam hal mencari jalan mengekspresikan iman sebagai bagian dari budaya (inkulturasi).

Selain itu, kreatif mengembangkan budaya, menghargai kearifan lokal, memberi ruang baru untuk melihat kesamaan, kesatuan dalam kepelbagaian (unity in diversity), sambil terus memeriksa batin untuk membuat keputusan yang bijak (discernment) dan menemukan keseimbangan antara iman dan ilmu, pengetahuan dan nilai, karakter maupun akademik.

Culture Sharing yang diikuti seratusan pastor, suster, frater, bruder dan guru-guru perwakilan Yayasan Pendidikan Katolik yang dipandu Pastor Revi Rafael Tanod ini turut menghadirkan Dosen Universitas IAIN Kalijaga Prof. Syafaatun Almirzanah, M.A., M.Th, Ph.D, D.Min sebagai pembicara.

Kegiatan yang diadakan di lokasi milik Youdy Aray ini diawali prakata dari Sekretaris Yayasan Joseph Esa Ene Suster Jasinta Wowor SJMJ. Kegiatan menggunakan bahasa Inggris.

Saat makan siang, para tamu dan undangan disuguhi makanan khas Minahasa dan menggunakan peralatan khas Minahasa. (lk)