Oleh :
Dr. drg. Paulus Januar

Meimonews.com – Tak disangkal lagi, Pemilu 2024 membawa implikasi terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal mendasar yang perlu ditelaah, apakah membawa perubahan yang lebih baik hingga memberi harapan akan masa depan, atau sebaliknya?

Kenyataan yang dihadapi dapat dikatakan berpotensi menumbuhkan kecemasan dalam menyongsong masa depan. Dengan demikian demi mewujudkan masa depan yang lebih baik, sebagaimana yang dicita-citakan bersama, maka perlu secara kritis dilakukan langkah bersama yang menjadi perjuangan bersama.

Dari Reformasi 1998 Hingga Pemilu 2024R

Reformasi 1998 mengusung tagline utama anti KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dan  perlu diwujudkan kebebasan, demokrasi, serta HAM (Hak Azasi Manusia). Pada awal Reformasi 1998 menunjukkan tekad yang bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya. Namun kemudian cenderung sedikit demi sedikit memudar tergerus oleh waktu, serta dilanda kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak.

Kini setelah lebih seperempat abad Reformasi 1998 menunjukkan praktik KKN marak kembali, kalau tidak mau dikatakan semakin hari cenderung semakin meningkat. Kebebasan, demokrasi, dan perwujudan HAM yang masih tersisa dari Reformasi 1998 sekarang ini juga semakin terancam.

Ironisnya pada Pemilu 2024 menunjukkan maraknya KKN serta pelemahan kebebasan, demokrasi, serta HAM, berlangsung dengan menggunakan prosedur demokrasi yang namanya pemilihan umum. Kemudian terhadap fenomena ini tenyata sangat lemah resistensi yang terjadi, malah sebaliknya terlihat kecenderungan untuk beramai-ramai memperebutkan manfaat KKN, apalagi kalau mumpung kesempatan terbuka.

Pemilu 2024 dengan gamblang menunjukkan pola pilihan mayoritas rakyat pemilih. Pertimbangan rasionalitas mengenai hal-hal seperti kebebasan, demokrasi, HAM serta anti KKN kurang menjadi prioritas. Daya tarik melalui gimmick, pencitraan, malah penggiringan opini dengan kalau perlu menggunakan disinformasi menjadi kenyataan yang dominan.

Kenyataan ini mungkin yang dapat menjelaskan mengapa pada Pemilu 2024 terdapat banyak pesohor yang mendapat limpahan suara yang cukup banyak, meski sama sekali tanpa iming-iming materi maupun jabatan, apalagi paksaan. Rakyat memilih terutama hanya karena ketenaran namanya sebagai pesohor, meski tidak diketahui sikap dan pandangan politiknya, apalagi rekam jejak politiknya. Namun inilah hasil pilihan rakyat yang harus diterima semua pihak.

Pola pemilihan yang terjadi pada Pemilu 2024 sedikit banyak menggambarkan tingkat literasi politik rakyat. Patut dpertanyakan sampai sejauh mana pemahaman masyarakat perihal sistem, proses, partisipasi, dan permasalahan politik yang perlu menjadi pertimbangan dalam memilih.  Belum lagi mengenai sikap kritis terhadap kehidupan politik yang berlangsung.

Saat ini, setelah 26 tahun Reformasi 1998, disadari ataupun tidak, telah hadir lapisan generasi baru yang dibesarkan setelah reformasi, atau bahkan dilahirkan setelah reformasi. Hal yang mencengangkan, berdasarkan pengamatan yang dilakukan serta pengalaman dialog dengan mereka, menunjukkan bahwa generasi tersebut rupanya sulit bahkan tidak dapat memahami situasi yang represif di masa orde baru yang hendak dirombak dengan Reformasi 1998.

Dengan situasi yang relatif bebas, bahkan kerap kebebasan yang dipandang kebablasan, tidak mudah bagi generasi tersebut untuk merasakan represi yang diderita masyarakat di era Orde Baru. Dengan demikian nilai-nilai yang hendak dikembangkan dengan Reformasi 1998, seperti kebebasan, demokrasi, dan HAM, menjadi tidak mudah diinternalisasikan.

Meski tidak dapat digeneralisasi begitu saja, namun patut disadari kehadiran generasi tersebut sebagai anak zaman dari era reformasi. Agaknya perlu dilakukan studi secara lebih mendalam dan serius mengenai generasi tersebut, dan tidak hanya sekedar pooling yang lebih bertujuan untuk kepentingan elektoral pemilu belaka.

Berdasarkan pemahaman tentang situasi serta juga hasil dari exit pool pada Pemilu 2024, secara garis besar dapatlah ditelaah pola pemilihan yang berlangsung. Memang yang akan dikemukakan di sini masih perlu didiskusikan, malah diperdebatkan lebih lanjut.

Terdapat pemilih yang menghendaki perubahan dari status quo yang ada sekarang, meski cenderung masih dalam bentuk daftar keinginan dan belum dijabarkan secara cukup rinci. Terdapat pula keinginan penerusan pola yang selama ini terdapat.

Namun yang terbesar adalah arus pragmatisme dalam memandang kekuasaan maupun kesejahteraan, terutama berdasarkan fenomena yang selama ini terdapat. Bahkan di kalangan generasi yang lebih baru dapat dikatakan terjadi semacam keinginan untuk akselerasi pragmatisme secara instan dan melalui jalan pintas.

Kemudian arus besar tersebut disertai pula dengan mereka yang pernah mendapatkan manfaat dari era Orde Baru, serta kemudian karena kurangnya pemahaman terutama dari generasi baru mengenai nilai-nilai yang harus diperjuangan maka relatif tidak terjadi resistensi yang signifikan.

Berdasarkan arus besar yang digambarkan pada pola pemilihan pada Pemilu 2024, maka sulit peluangnya untuk memperjuangkan kebebasan, demokrasi, dan HAM dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Apalagi dengan adanya kecurangan pada Pemilu 2024 sebagaimana yang banyak dituduhkan.

Selanjutnya bila kecurangan Pemilu 2024 dilegalkan, maka landasan etika universal bahkan hukum sekalipun cenderung ditempatkan di bawah kepentingan kekuasaan. Hingga apabila Pemilu 2024 dilakukan secara curang, maka kebebasan, demokrasi, dan HAM akan terancam eksistensinya, dan kesewenang-wenangan akan semakin merajalela.

Dari uraian tersebut di atas, bila demikian, maka patut dipertanyakan apakah gambaran situasi tersebut akan memberikan prediksi yang cerah bagi masa depan ? Ataukah sebaliknya akan menimbulkan kecemasan akan masa depan ?

Penyadaran Masyarakat

Kemungkinan pelemahan pelaksanaan kebebasan, demokrasi, serta HAM pada gilirannya akan membuka peluang terjadinya penyelewengan terutama dalam bentuk KKN.  Dapat dikatakan terjadi kesenjangan mengenai pemahaman serta kesadaran mengenai hal ini. Apabila hal ini tidak diatasi akan memberikan gambaran yang suram mengenai masa depan Indonesia.

Penyadaran masyarakat akan nilai-nilai luhur yang harus menjadi integritas diri tampaknya kurang mendapat perhatian. Tonggak sejarah 2045 yang disebut sebagai Indonesia Emas lebih banyak menekankan pada aspek pertumbuhan sebagai raksasa ekonomi dan kemakmuran.

Tidak ditekankan bahwa Indonesia Emas juga harus diartikan pada saat tersebut rakyat Indonesia juga memiliki integritas diri yang kokoh dalam bentuk tata nilai luhur yang tertanam dalam dirinya.

Dalam hal ini diperlukan penanaman integritas yang kokoh, bukannya yang mudah goyah karena godaan kekuasaan maupun materi.

Penyadaran masyarakat tidak hanya terbatas mengenai kesadaran akan nilai-nilai luhur yang perlu diperjuangkan, namun lebih jauh lagi penyadaran untuk bersikap bila terjadi pelanggaran terhadapnya.

Penyadaran masyarakat dapat dijalankan melalui pendidikan politik baik seara formal maupun dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, mutlak perlu disertai dengan keteladan dalam kehidupan nyata.

Diperlukan inovasi dalam penyadaran masyarakat sesuai dengan perkembangan zaman maupun sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Ini semua merupakan tantangan kita semua untuk penelaahan lebih lanjut dalam rangka perwujudannya demi harapan yang cerah menuju Indonesia yang dicita-citakan.  (Penulis adalah Dosen Pasca Sarjana Universitas Prof. Dr. Mortopo -Beragama dan Presidium Gerakan Penegak Kedaulatan Rakyat)

Meimonews.com – Setidaknya, ada tiga akibat dari peristiwa kekerasan yang terjadi pada dr. Carel Triwiyono di Lampung terutama disebabkan karena pemahaman yang tidak tepat mengenai ketidakberhasilan pelayanan kesehatan serta ketidak percayaan yang selama ini berkembang di masyarakat.

Tiga akibat itu adalah opini negatif terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan, kriminalisasi terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan, dan tindakan kekerasan main hakim sendiri terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan

“Dalam rangka mengatasinya perlu perlindungan hukum terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan secara memadai,” ujar Biro Hukum dan Kerjasama PB PDGI dan Ketua Badan Kehormatan dan Etik Mediator dan Legislasi PKMBI (Perkumpulan Konsultan Mediasi Bersertifikat Indonesia) Dr. drg. Paulus Januar, MS, CMC  pada zoom meeting bertemakan Edaran  Keprihatinan dan Solidaritas Dokter Gigi PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia) yang dipandu Dr. Hadiwijaya (PB IDI), Kamis (26/4/2023).

Disebutkan, rumusan pada Undang Undang yang berlaku sekarang bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan mendapat perlindungan hukum sepanjang pelaksanaan profesinya sesuai etika dan standar dipandang kurang memadai dan absurd.

Diungkapkan, Pada Rapat Dengar Pendapat di hadapan Komisi IX DPR mengenai pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law dari PDGI dan IDI mengusulkan rumusan yang lebih konkret bahwa Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan tidak dapat dituntut pidana dan perdata sepanjang pelaksanaan profesinya sesuai dengan etika dan standar.

Dr. drg. Paulus Januar, MS, CMC

Terhadap pelanggaran pelaksanaan profesi tenaga medis dan tenaga kesehatan perlu dilakukan pemilahan secara jelas antara pelanggaran pidana, pelanggaran perdata, dan pelanggaran administrasi. Dengan demikian, tidak terjadi setiap sengketa medis cenderung dibawa ke ranah pidana hingga terjadi kriminalisasi terhadap tenaga medis an tenaga kesehatan.

“Menghentikan kriminalisasi terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan bukan berarti impunitas karena terhadap pelanggaran yang terjadi dari kalangan profesi juga tidak menghendaki terjadinya dan perlu dikenakan sanksi,” ujarnya.

Konsekuensi tanpa adanya pengaturan yang jelas, menurutnya, berpotensi akan menyebabkan terjadinya praktik defensif (defensive practice) yakni untuk menghindari tuntutan praktik dilakukan pemeriksaan secara berlebihan, kecenderungan menghindari penanganan kasus yang berisiko, dan melindungi diri dengan asuransi profesi secara berlebihan.

“Sebagai akibatnya, masyarakat akan dirugikan dengan pelayanan kesehatan yang  sebenarnya tidak diperlukan serta berbiaya tinggi,” tandasnya.

Dalam rangka perlindungan terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan diperlukan peranan organisasi profesi karena upaya perlindungan akan lebih efektif bila dijalankan sebagai kegiatan yang terorganisasi. Terlebih dari itu organisasi profesi berperan dalam etika profesi dan standar profesi.

Menurutnya, wadah tunggal organisasi profesi dibutuhkan untuk menjaga pelaksanaan etika profesi dan standar profesi. Bila terdapat lebih dari 1 organisasi profesi maka seorang yang bermasalah di bidang etika ataupun standar profesi pad sebuah organisasi dapat saja berpindah ke organisasi lainnya.

Dengan demikian, sebutnya, dapat terjadi ketidakpastian dalam pelaksanaan etika dan standar profesi. Bila hal ini terjadi maka yang dirugikan bukan hanya kalangan profesi namun terlebih lagi masyarakat yang dirugikan.

“Apa yang terjadi pada dokter Carel Triwiyono di Lampung diharapkan dapat menyadarkan bahwa di balik kasus tersebut terdapat suatu kebutuhan penataan pelayanan kesehatan yang perlu ditangani secara seksama terutama yang menyangkut perlindungan terhadap tenaga kesehatan serta peran profesi,” ujarnya.

Dengan penataan yang baik, sambungnya, diharapkan tumbuh pandangan yang tepat tentang pelayanan kesehatan serta semakin tumbuhnya kepercayaan masyarakat. (Fer)

Meimonews.com – UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran hingga saat ini masih cukup baik dan sesuai untuk mengakomodasi pengaturan praktik dokter/dokter gigi.

Dalam rangka mengantisipasi perkembangan serta kemajuan praktik dokter/dokter gigi dapat dilakukan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan Peraturan Konsil.

Hal tersebut terungkap pada pertemuan PB PDGI dengan Pusat Panlak UU (Pemantauan Pelaksanaan Undang Undang) DPR RI untuk mendiskusikan evaluasi pelaksanaan UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran. Pertemuan yang berlangsung secara daring tersebut diselenggarakan pada 5 Agustus 2022.

Pada pertemuan berdasarkan undangan dari Pusat Panlak UU DPRI RI tersebut, PB PDGI dipimpin Ketua Umum drg Usman Sumantri, MSc, dan Sekjen drg. Tari Tritarayati, SH, MHKes.

Beberapa anggota PB PDGI yang turut serta adalah Dr. drg. Edi Sumarwanto,MM, MHKes, Dr. drg. Paulus Januar, MS, drg Khoirul Anam, SH, MHKes, SpOrt, Dr. drg. Kosterman Usri, MM, drg. Suryono, SH,PhD, drg. Diono Susilo, MPH, dan drg. Bulan Rahmadi, MKes. Sedang dari Pusat Panlak UU DPR RI diikuti unsur pimpinan dan beberapa tenaga analis hukum.

Organisasi Profesi
Pada kesempatan tersebut hangat didiskusikan mengenai PDGI sebagai organisasi profesi. Berdasarkan UU No. 29/2004 ditetapkan IDI sebagai organisasi profesi yang menghimpun dokter dan PDGI sebagai organisasi profesi yang menghimpun dokter gigi. IDI dan PDGI sebagai organisasi profesi terutama berperan dalam membina profesionalisme dan etika profesi para anggotanya.

Dalam hal menjaga etika dan profesionalisme anggotanya, maka organisasi profesi kedokteran menjalankannya terutama dalam bentuk pemberian sertifikat kompetensi, pengembangan profesionalisme berkelanjutan (Continuing Professionalism Development), serta rekomendasi dalam pengurusan Surat Izin Praktik. PDGI menetapkan kode etik dokter gigi serta terhadap pelanggaran etika profesi maka organisasi profesi akan memberikan sanksi dalam rangka mempertahankan keluhuran profesi kedokteran.

Organisasi profesi kedokteran sebagaimana di semua negara lain merupakan wadah tunggal agar dapat sepenuhnya melakukan pengembangan profesionalisme dan etika profesi. Hal ini dijalankan terutama dalam rangka upaya untuk mewujudkan hak asazi manusia agar setiap orang mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.

Selanjutnya disampaikan pula mengenai ikatan keahlian yang menghimpun para dokter gigi spesialis serta ikatan kepeminatan dokter gigi. Dalam hal ini ikatan keahlian dan ikatan kepeminatan yang bersifat otonom sama sekali bukan organisasi yang berada di luar PDGI. Ikatan keahlian dan ikatan peminatan merupakan satu kesatuan yang tergabung dalam PDGI.

Bila terdapat beberapa organisasi profesi kedokteran maka mungkin saja masing-masing organisasi menetapkan kode etik dan standar profesinya sendiri-sendiri, hingga dapat menimbulkan kerancuan dalam pelayanan kesehatan.

Selain itu, misalnya seorang dokter/dokter gigi yang melakukan pelanggaran etik untuk menghindari dijatuhi sanksi bisa saja kemudian berpindah ke organisasi profesi lainnya, atau malah mendirikan organisasi profesi baru.

Pada kesempatan diskusi tersebut, PDGI mengemukakan pula bahwa penataan organisasi profesi yang serupa juga terdapat pada profesi lain. Pada UU Tenaga Kesehatan ditetapkan bahwa setiap jenis Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk satu Organisasi Profesi dan kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan merupakan badan otonom dan bertanggung jawab kepada Organisasi Profesi.

Sedangkan pada profesi advokat, meski pada saat penyusunannya telah terdapat beberapa organisasi, namun UU tentang Advokat menetapkan tentang pembentukan Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat.

Pada diskusi yang berlangsung, di samping mengenai organisasi profesi, dalam kaitan dengan pelaksanaan UU Praktik Kedokteran, dibahas pula mengenai peran dan fungsi kolegium, pembinaan dan pengawasan terhadap praktik dokter gigi, serta perlunya pemerataan distribusi dokter gigi.

Pada kesempatan tersebut dikemukakan meskipun terdapat permasalahan dan hal yang harus diperbaiki, namun bagi profesi kedokteran gigi, secara umum dapat dikatakan sudah cukup baik pelaksanaan pengaturannya berdasarkan UU Praktik Kedokteran serta peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.

Perubahan UU Praktik Kedokteran
Meskipun UU Praktik Kedokteran masih relevan dan belum ada urgensi untuk merevisinya, namun kalaupun hendak dilakukan perubahan harus berlandaskan idealisme luhur untuk pengembangan profesi dokter/dokter gigi dalam rangka pengabdiannya bagi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

Proses perubahan UU Praktik Kedokteran harus dijalankan dengan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dari seluruh pemangku kepentingan, serta juga perlu memperhatikan spesifisitas profesi kedokteran gigi.

Pembahasan bersama mengenai pelaksanaan UU Praktik Kedokteran berlangsung selama hampir 3 jam, dan sebagai kerangka acuannya adalah 25 butir pertanyaan dari Pusat Panlak UU DPRI RI.

Dari proses diskusi yang berlangsung dipandang perlu ditindaklanjuti dengan lebih mendalami lagi penelaahan mengenai pelaksanaan UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran. (Dr. Drg. Paulus Januar, MS/Pakar Kesehatan Gigi Masyarakat dan Pengurus Besar PDGI )

Meimonews.com – Sementara pandemi Covid-19 belum ju^a usai, kini dunia dicemaskan dengan merebaknya penyakit cacar monyet (monkey pox). Perihal penyakit cacar monyet patut untuk diwaspadai agar dapat dilakukan antisipasi secara tepat.

Hingga kini, di Indonesia belum ada kasus cacar monyet yang ditemukan. Namun, sampai minggu terakhir Juli 2022, di seluruh dunia cacar monyet sudah ditemukan di 75 negara dengan kasus lebih dari 18 ribu penderita.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 23 Juli 2022 menetapkan cacar monyet sebagai kedaruratan kesehatan internasional (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC). Penetapan sebagai darurat kesehatan internasional mengandung makna bahwa WHO menyerukan untuk memobliisasi upaya dalam rangka menghentikan penyebaran cacar monyet.

Dalam hal ini kedaruratan internasional (PHEIC) belum tentu akan berkembang menjadi pandemi yang menyebar secara cepat ke seluruh dunia. Beberapa penyakit lain seperti zika, polio, dan ebola yang pernah dinyatakan sebagai kedaruratan internasional ternyata tidak berkembang menjadi pandemi.

Meski demikian, cacar monyet tetap perlu diwaspadai penularan maupun penyebarannya. Kewaspadaan perlu dilakukan terutama melalui pencegahan dan deteksi dini serta pelaporan. Selain itu juga perlu dilakukan karantina untuk memantau di pintu masuk Indonesia.

Cacar Monyet
Penyakit ini disebut cacar monyet karena pertama kali ditemukan di tahun 1958 pada monyet yang dipelihara untuk tujuan penelitian. Awalnya penyakit ini hanya terdapat pada binatang monyet, tupai, dan tikus tapi kemudian pada 1970 mulai ditemukan pada manusia.

Selama ini, cacar monyet merupakan penyakit endemis yang tingkatnya konstan rendah di beberapa negara Afrika.  Namun sejak Mei 2022 dilaporkan terjadi pada beberapa negara non-endemis di Eropa, Amerika, dan Pasifik Barat. Berdasarkan kenyataan tersebut maka WHO selanjutnya menetapkan cacar monyet menjadi penyakit yang patut menjadi perhatian masyarakat global.

Penyebab penyakit ini adalah virus cacar monyet (monkeypox virus) yang merupakan virus genus Orthopoxvirus yang termasuk dalam famili Poxviridae. Cacar monyet semula merupakan penyakit zoonosis, yakni penyakit yang penularannya ke manusia berasal dari hewan. Namun karena virusnya mengalami mutasi genetik maka kini penularannya bukan hanya terjadi dari hewan ke manusia namun juga dari manusia ke manusia.

Cacar Monyet merupakan penyakit infeksi yang menular melalui kontak langsung dengan penderita, ataupun binatang yang terinfeksi, serta dapat pula melalui benda yang terkontaminasi. Penularan melalui kontak langsung dengan penderita dapat terjadi lewat darah, cairan tubuh, lesi pada kulit, termasuk kontak seksual.

Sebenarnya, cacar monyet tidak mudah menular secara cepat dan meluas, karena penularannya memerlukan kontak erat. Namun pencegahan dan kewaspadaan tetap perlu dilakukan agar tidak semakin merebak.

Masa inkubasi yaitu jangka waktu antara terinfeksi virus hingga mulai timbulnya gejala cacar monyet umumnya antara 6 hingga 13 hari. Penderita cacar monyet menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit cacar (small pox) namun jauh lebih ringan.

Penderita cacar monyet umumnya mengalami gejala awal demam tinggi >38,5 derajat Celcius, sakit kepala hebat, pembengkakan getah bening (limfadenopati) di leher, ketiak, ataupun selangkangan, mengalami nyeri otot (myalgia), sakit punggung, dan badan lemas (astenia). Pembengkakan kelenjar getah bening merupakan gejala yang khas pada cacar monyet dan tidak terdapat pada jenis cacar lainnya.

Setelah gejala awal tersebut pada penderita cacar monyet akan muncul ruam (bintil bintil kemerahan). Ruam terutama terdapat pada wajah, telapak tangan dan kaki, mukosa, alat kelamin, dan selaput lendir mata. Seiring waktu, ruam akan berubah menjadi koreng lalu akhirnya rontok.

Penyakit cacar monyet umumnya bersifat ringan yang berlangsung 2 – 4 minggu lalu sembuh. Namun pada beberapa kasus dapat menyebabkan komplikasi medis, yang bila tidak bisa diatasi dapat menimbulkan dampak serius. Komplikasi dari cacar monyet antara lain infeksi kulit sekunder, radang paru dan saluran pernapasan, gangguan kesadaran, dan masalah pengelihatan.

Sebagaimana penyakit virus pada umumnya, cacar monyet merupakan penyakit yang bersifat self-limited yaitu pada tahap tertentu virus penyebabnya akan terhenti sendiri perkembangannya dan penderita akan sembuh. Meskipun demikian terhadap penderita yang menunjukkan gejala perlu segera mendapatkan pelayanan medis terutama untuk mengatasi komplikasi yang mungkin ditimbulkannya.

Pengobatan terhadap cacar monyet bersifat menghilangkan gejala dan suportif. Tingkat kematian karena cacar monyet relatif rendah (3-6 %), dan kematian terutama karena fasilitas kesehatan yang kurang memadai.

Orang yang pernah mendapatkan vaksinasi cacar (smallpox) menunjukkan imunitas terhadap infeksi cacar monyet. Namun bila pernah terkena cacar air (chiken pox) ternyata tidak memberikan perlindungan terhadap cacar monyet. Hal ini karena cacar air disebabkan virus varicella yang berbeda dengan virus cacar monyet.

Vaksinasi cacar dapat memberikan efektivitas proteksi sebesar 85% dalam mencegah infeksi cacar monyet. Namun persoalannya, cukup banyak orang mungkin belum mendapat vaksinasi cacar, karena vaksinasi tersebut dihentikan setelah penyakit cacar pada 1980 berhasil dieradikasi (dimusnahkan total) di seluruh dunia.

Cacar Monyet di Indonesia
Meski di Indonesia belum terdapat kasus cacar monyet, namun Kementerian Kesehatan RI telah melakukan serangkaian langkah mitigasi untuk mencegahnya serta juga persiapan untuk menghadapinya. Dalam rangka mencegah penyebaran cacar monyet dilakukan pemantauan dan segera melaporkan bila ditemukan kasus cacar monyet. Selain itu telah disediakan alat dan bahan untuk deteksi dini bagi kasus terduga terkena cacar monyet. Lebih jauh lagi telah pula disiapkan obat, sarana serta tenaga kesehatan bila terdapat penderita cacar monyet.

Di kalangan masyarakat luas dilakukan dengan menyebarluaskan informasi mengenai cacar monyet serta upaya pencegahan maupun mengatasinya. Hal penting yang perlu dijalankan adalah melakukan pencegahan penularan dengan menghindari kontak langsung dengan penderita cacar monyet. Di samping itu perlu pula secara teratur membersihkan dan melakukan disinfeksi terhadap permukaan benda-benda yang sering disentuh yang bisa saja terkontaminasi.

Kalau mengalami kontak langsung dengan penderita cacar monyet sebaiknya dilakukan observasi dan isolasi mandiri. Sedangkan bila timbul gejala cacar monyet, segera menghubungi fasilitas pelayanan kesehatan.

Memang menghadapi cacar monyet perlu kewaspadaan agar dapat dilakukan langkah yang tepat untuk mengantisipasinya, karena kita tidak boleh kecolongan apalagi sampai kebobolan. (Dr. drg. Paulus Januar/Pakar Kesehatan Masyarakat)

Meimonews.com -Permasalahan komunikasi yang kerap terjadi adalah komunikasi yang kurang jelas, kurang lengkap, terlambat disampaikan, dan kesalahpahaman.

“Menurut data yang ada, sebagian besar sengketa medis bukan karena kelalaian dokter tetapi disebabkan karena permasalahan komunikasi,” ujar Dr. drg. Paulus Januar, Pengurus Besar PDGI (PB Persatuan Dokter Gigi Indonesia) pada webinar dalam rangka HUT ke-72 PDGI di Jakarta, Minggu (23/1/2022).

Dengan mediasi maka hasilnya akan memuaskan semua pihak karena keputusan berdasarkan kesepakatan bersama hingga memberikan hasil yang win-win solution serta bukannya ada yang menang dan ada yang kalah.

Diungkapkan, sengketa medis dokter yang digugat pasiennya cenderung semakin meningkat jumlahnya. Masyarakat yang kecewa terhadap pelayanan kedokteran cenderung dengan mudah menggugat dokter yang merawatnya.

Sengketa medis umumnya karena pasien tidak puas dengan pelayanan kesehatan yang diperolehnya, serta dipandang penyebabnya karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan yang merawatnya.

Dikemukakan, berdasarkan UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, dalam hal tenaga medis diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

“Dalam hal ini mediasi adalah cara mengatasi sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan penyelesaian para pihak dengan dibantu oleh mediator sebagai pihak netral yang membantu menfasilitasi,” ujarnya.

Perundingan melalui mediasi, menurut Januar, merupakan alternatif penyelesaian sengketa medis secara adil yang lebih efektif dan memuaskan dibanding berperkara di pengadilan.

Disebutkan, dengan mediasi maka hasilnya akan memuaskan semua pihak karena keputusan berdasarkan kesepakatan bersama hingga memberikan hasil yang win-win solution serta bukannya ada yang menang dan ada yang kalah.

Dengan keputusan mediasi yang dapat memuaskan para pihak maka akan menjaga hubungan yang tetap baik. “Hal ini juga sangat sesuai dengan kearifan otentik bangsa Indonesia yang mengedepankan musyawarah mufakat dan hubungan kekeluargaan,” sebutnya.

Dijelaskan, sebagai mediator adalah hakim atau mediator bersertifikat berdasarkan pendidikan mediator yang diselenggarakan oleh lembaga yang terakreditasi oleh Mahkamah Agung.

Dalam kaitan dengan mediasi sengketa medis diharapkan terdapatnya mediator yang memahami permasalahan medis.

Sengketa medis umumnya, ungkap Januar, bersifat spesifik mengenai pelayanan kesehatan dan memerlukan kemampuan khusus bagi mediator.

Januar mengungkapkan, saat ini terdapat tenaga kesehatan seperti dokter, dokter gigi, dan perawat yang telah menempuh pendidikan mediator bersertifikat hingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tersebut.

Masyarakat umumnya berpandangan sengketa medis lebih baik diselesaikan di pengadilan. Permasalahannya, penyelesaian melalui pengadilan relatif lama, biaya tidak sedikit, serta pembuktian di pengadilan tidak mudah.

Mediasi merupakan upaya untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap keadilan.

Dibandingkan penyelesaian melalui peradilan pidana atau perdata, maka mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang lebih efektif dan efisien baik dari segi waktu, biaya, maupun beban psikologis serta dampak sosial.

Kemudian berbeda dengan pengadilan yang sifatnya terbuka, proses mediasi berlangsung secara tertutup. Dengan mediasi yang pada hakikatnya tidak terbuka untuk masyarakat umum maka rahasia kedokteran akan tetap terjaga.

“Terungkapnya rahasia kedokteran dapat menimbulkan dampak yang merugikan, terutama bagi pasien,” tandasnya.

Diuraikan, mediasi merupakan perwujudan keadilan restoratif (restorative justice) yaitu penyelesaian perkara dengan melibatkan pelaku, korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan.

Saat ini, dalam penegakan hukum berlangsung pergeseran paradigma dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif. Keadilan retributif yang cenderung menghukum sebagai pembalasan menjadi keadilan restoratif yang menekankan pemulihan.

Selama ini, sebut Januar, pada penyelesaian sengketa medis melalui pengadilan kerap terjadi terabaikannya kepentingan pasien sebagai korban. Berdasarkan keadilan restoratif dilakukan pemulihan kondisi semua pihak dan perbaikan bagi yang dirugikan.

Menurutnya, keadilan restoratif pada hakikatnya menempatkan fungsi penjatuhan hukuman sebagai ultimum remidium, yaitu solusi akhir apabila upaya hukum lainnya sudah tidak bisa digunakan lagi untuk mengatasi.

Dikemukakan, mediasi terhadap sengketa medis sebagai perwujudan keadilan restoratif sama sekali bukan upaya impunitas, melainkan justru dengan dilakukannya pemulihan dan perbaikan para pihak yang bersengketa akan semakin meningkatkan profesionalisme pelayanan kesehatan.

Pada hakikatnya, sebut Januar, kalangan profesi kedokteran dan kedokteran gigi senantiasa hendak menegakkan keluhuran profesi, dan tidak menghendaki terjadinya penyimpangan yang merugikan keluhuran profesi.

Pada webinar yang diikuti para anggota PDGI dari seluruh cabang di Indonesia tersebut juga disampaikan mengenai etika dan disiplin kedokteran dalam rangka meningkatkan profesionalisme dokter gigi serta juga mengenai pembelaan dan pembinaan anggota.

Selain webinar, pada HUT PDGI kali ini juga diselenggarakan penyuluhan kesehatan dan pemeriksaan gigi serta vaksinasi Covid-19 bagi masyarakat yang diselenggarakan dengan protokol kesehatan secara ketat. (lk)

(Oleh : Dr. drg. Paulus Januar, MS)

Meimonews.com – Kesehatan di Indonesia berada diperingkat ke-30 dari 195 negara berdasarkan indeks GHS (Global Health Security) yang dipublikasikan pada oktober 2019.

Indeks GHS dikembangkan oleh Nuclear Threat Initiative (NTI), dan Johns Hopkins Center for Health Security (JHU), bekerjasama dengan Economist Intelligence Unit (EIU).

Indeks GHS merupakan indeks yang disusun berdasarkan penelaahan terhadap: upaya pencegahan penyakit, deteksi dan pelaporan penyakit, respon cepat mengatasi penyebaran penyakit, sistem kesehatan, kesesuaian dengan norma kesehatan internasional, serta risiko lingkungan terhadap permasalahan kesehatan.

Berdasarkan indeks GHS dari 195 negara di dunia menunjukkan skor rata-rata sebesar 40,2 dari maksimum 100. Indonesia menunjukkan skor GHS sebesar 56,6 yang berarti di atas rata-rata. Sepuluh negara dengan skor tertinggi adalah Amerika Serikat, Inggeris, Belanda, Australia, kanada, Thailand, Swedia, Denmark, Korea Selatan, Finlandia. Sedangkan negara dengan skor terendah antara lain Gabon, Guinea-Bissau, Syria, Yaman, Korea Utara, dan Somalia.

Selama ini pembangunan kesehatan di Indonesia terutama dijalankan melalui program Indonesia Sehat. Dalam hal ini Indonesia sehat menjadi program utama pembangunan kesehatan sebagai suatu upaya meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.

Indonesia sehat berarti terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Kesehatan merupakan investasi untuk mendukung pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

Program Indonesia Sehat dilaksanakan dengan menegakkan tiga pilar utama, yaitu penerapan paradigma sehat, penguatan pelayanan kesehatan, dan pelaksanaan jaminan kesehatan nasional (JKN).

Selanjutnya pelaksanaannya dijalankan dalam upaya seperti menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), menurunkan prevalensi balita pendek (stunting), menanggulangi penyakit menular HIV-AIDS, tuberkulosis, dan malaria, serta menanggulangi penyakit tidak menular hipertensi, diabetes, obesitas, kanker, dan gangguan Jiwa.

Namun upaya pembangunan Indonesia Sehat saat ini menghadapi permasalahan serius dengan merebaknya Pandemi Covid-19.

Ketika tulisan ini dibuat, secara global Covid-19 telah menjangkiti penduduk 219 negara dengan jumlah penderita sebanyak 50.679.072 dan yang meninggal 1.261.075 orang.

Di Indonesia Covid-19 telah menjangkiti 444.348 orang, serta merenggut 14.761 jiwa termasuk lebih dari 300 tenaga Kesehatan. Banyak negara seperti Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa yang jauh lebih buruk dari keadaan di Indonesia dalam pengendalian dan mengatasi Covid-19.

Upaya menanggulangi Covid-19 merupakan kebutuhan mendesak yang harus dijalankan. Sejumlah tindakan telah dilakukan mulai dari pembuatan regulasi, edukasi dan pelaksanaan tindakan pencegahan, pemeriksaan, pelacakan, mitigasi, surveilans, penyediaan alat perlindungan diri, pengobatan, peningkatan sumberdaya dan sarana kesehatan, hingga secara luas melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat.

Hari Kesehatan Nasional
Saat ini, pembangunan Indonesia Sehat disertai keprihatinan pandemi Covid-19 merupakan situasi yang melatari Hari Kesehatan Nasional (HKN) yang diperingati setiap tanggal 12 November.

Peringatan HKN tahun 2020 bertemakan “Satukan Tekad Menuju Indonesia Sehat,” kemudian dilengkapi dengan sub tema “Jaga Diri, Keluarga dan Masyarakat, Selamatkan Bangsa dari Pandemi COVID-19.”

Tahun ini merupakan peringatan HKN ke-56 sejak pertama kali dicanangkan oleh Presiden Sukarno di tahun 1964. Tanggal 12 november ditetapkan sebagai Hari Kesehatan Nasional untuk memperingati momen bersejarah ketika pemerintah meresmikan dimulainya kegiatan nasional pemberantasan malaria pada 12 november 1959.

Di tengah pandemi Covid-19, kegiatan HKN ke-56 tahun 2020 terutama dilakukan secara virtual.

Serangkaian kegiatan yang direncanakan meliputi upacara peringatan, seminar ilmiah webinar, unjuk kreasi upaya kesehatan virtual, pengabdian masyarakat, perlombaan, jambore kesehatan.

Selain itu, mengheningkan cipta bagi para pahlawan kesehatan termasuk tenaga kesehatan yang menjadi korban Covid-19, dan membunyikan sirine /klakson mobil secara bersamaan di seluruh Indonesia pada tanggal 12 Nopember 2020 tepat pukul 10.00 WIB.

Melalui rangkaian kegiatan HKN diharapkan dapat menguatkan tekad untuk mewujudkan tingkat kesehatan diri serta masyarakat yang setinggi-tingginya.

Dengan adanya Covid-19 bukan berarti harus melangkah mundur. Melainkan pandemi Covid19 merupakan suatu permasalahan mendesak yang harus diatasi agar dapat melangkah maju.

Menghadapi Covid-19
Pandemi Covid-19 telah dirasakan pengaruhya pada seluruh sektor kehidupan masyarakat. Covid-19 tidak lagi hanya masalah kesehatan, namun telah memberikan dampak buruk yang melanda sektor ekonomi, pendidikan, budaya, keluarga, bahkan juga kehidupan beragama.

Bila tidak segera diatasi, dikhawatirkan akan terjadi peningkatan kemiskinan, melebarnya kesenjangan sosial, serta melemahnya ikatan sosial, dan merebaknya keresahan di masyarakat.

Mengatasi Covid-19 seringkali dipersoalkan: mana yang perlu diprioritaskan antara upaya di bidang kesehatan dengan pemulihan ekonomi? Mengenai hal ini Joe Hasell dalam tulisannya yang dimuat di Our World in Data edisi 1 september 2020, menghubungkan antara upaya mengatasi pandemi Covid-19 dengan pemulihan dampak ekonominya.

Hasilnya menunjukkan, negara yang dapat mengatasi permasalahan kesehatannya ternyata sekaligus juga ekonominya dapat dipertahankan. Negara yang tinggi tingkat kematiannya karena Covid-19 seperti Peru, Spanyol dan Inggeris mengalami resesi ekonomi yang parah pula. Sebaliknya, negara yang berhasil menekan hingga tingkat kematian karena Covid-19 rendah seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Lithuania ternyata penurunan ekonominya tidak terlalu besar.

Namun dikemukakannya, hal ini mungkin karena negara-negara yang mampu mengendalikan Covid-19, juga menjalankan strategi ekonomi yang baik pula. Bila demikian maka yang diperlukan adalah upaya mengatasi Covid-19 yang efektif, sekaligus kebijakan ekonomi yang mumpuni.

Studi yang dilakukan ECLAC (Economic Commission for Latin America and the Caribbean) bersama dengan PAHO (Pan American Health Organization) menyimpulkan, bila pandemi Covid-19 tidak terkendali, maka akan sulit untuk melakukan pemulihan ekonomi.

Dalam rangka mengatasi pandemi Covid-19 dan melakukan pemulihan kehidupan ekonomi dibutuhkan kepemimpinan nasional yang efektif, dinamis, serta melayani untuk menjalankan program nasional yang mengintegrasikan kesehatan, ekonomi, dan sosial.

Dalam menghadapinya, ternyata pandemi Covid-19 telah menunjukkan peranan kesehatan terhadap kesejahteraan individu maupun masyarakat, serta pengaruhnya terhadap perekonomian dan kehidupan sosial.

Pandemi Covid-19 merupakan pangkal penyebab dari krisis ekonomi dan sosial yang diakibatkannya. Dengan demikian pemulihan ekonomi dan kehidupan sosial tidak dapat dijalankan sebelum penyebaran Covid-19 dapat dikendalikan melalui program kesehatan masyarakat yang efektif. Berdasarkan kenyataan ini maka menjadi sangat relevan untuk melakukan pengarus utamaan kesehatan sebagai titik tolak dalam menghadapi Covid -19.

Dalam situasi sekarang ini memang mewujudkan Indonesia Sehat dan ditambah lagi mengatasi pandemi Covid-19 berserta dampak sosialnya, harus diakui merupakan pekerjaan yang tidak mudah.

Semoga peringatan HKN ke-56 tahun 2020 menguatkan kesadaran mengenai pentingnya kesehatan dalam mewujudkan Indonesia yang sejahtera, terutama dalam menghadapi permasalahan serius Covid-19 yang telah berdampak pada seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat. (Penulis adalah Pakar Kesehatan Masyarakat)