Oleh :
Dr. drg. Paulus Januar
Meimonews.com – Tak disangkal lagi, Pemilu 2024 membawa implikasi terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal mendasar yang perlu ditelaah, apakah membawa perubahan yang lebih baik hingga memberi harapan akan masa depan, atau sebaliknya?
Kenyataan yang dihadapi dapat dikatakan berpotensi menumbuhkan kecemasan dalam menyongsong masa depan. Dengan demikian demi mewujudkan masa depan yang lebih baik, sebagaimana yang dicita-citakan bersama, maka perlu secara kritis dilakukan langkah bersama yang menjadi perjuangan bersama.
Dari Reformasi 1998 Hingga Pemilu 2024R
Reformasi 1998 mengusung tagline utama anti KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dan perlu diwujudkan kebebasan, demokrasi, serta HAM (Hak Azasi Manusia). Pada awal Reformasi 1998 menunjukkan tekad yang bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya. Namun kemudian cenderung sedikit demi sedikit memudar tergerus oleh waktu, serta dilanda kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak.
Kini setelah lebih seperempat abad Reformasi 1998 menunjukkan praktik KKN marak kembali, kalau tidak mau dikatakan semakin hari cenderung semakin meningkat. Kebebasan, demokrasi, dan perwujudan HAM yang masih tersisa dari Reformasi 1998 sekarang ini juga semakin terancam.
Ironisnya pada Pemilu 2024 menunjukkan maraknya KKN serta pelemahan kebebasan, demokrasi, serta HAM, berlangsung dengan menggunakan prosedur demokrasi yang namanya pemilihan umum. Kemudian terhadap fenomena ini tenyata sangat lemah resistensi yang terjadi, malah sebaliknya terlihat kecenderungan untuk beramai-ramai memperebutkan manfaat KKN, apalagi kalau mumpung kesempatan terbuka.
Pemilu 2024 dengan gamblang menunjukkan pola pilihan mayoritas rakyat pemilih. Pertimbangan rasionalitas mengenai hal-hal seperti kebebasan, demokrasi, HAM serta anti KKN kurang menjadi prioritas. Daya tarik melalui gimmick, pencitraan, malah penggiringan opini dengan kalau perlu menggunakan disinformasi menjadi kenyataan yang dominan.
Kenyataan ini mungkin yang dapat menjelaskan mengapa pada Pemilu 2024 terdapat banyak pesohor yang mendapat limpahan suara yang cukup banyak, meski sama sekali tanpa iming-iming materi maupun jabatan, apalagi paksaan. Rakyat memilih terutama hanya karena ketenaran namanya sebagai pesohor, meski tidak diketahui sikap dan pandangan politiknya, apalagi rekam jejak politiknya. Namun inilah hasil pilihan rakyat yang harus diterima semua pihak.
Pola pemilihan yang terjadi pada Pemilu 2024 sedikit banyak menggambarkan tingkat literasi politik rakyat. Patut dpertanyakan sampai sejauh mana pemahaman masyarakat perihal sistem, proses, partisipasi, dan permasalahan politik yang perlu menjadi pertimbangan dalam memilih. Belum lagi mengenai sikap kritis terhadap kehidupan politik yang berlangsung.
Saat ini, setelah 26 tahun Reformasi 1998, disadari ataupun tidak, telah hadir lapisan generasi baru yang dibesarkan setelah reformasi, atau bahkan dilahirkan setelah reformasi. Hal yang mencengangkan, berdasarkan pengamatan yang dilakukan serta pengalaman dialog dengan mereka, menunjukkan bahwa generasi tersebut rupanya sulit bahkan tidak dapat memahami situasi yang represif di masa orde baru yang hendak dirombak dengan Reformasi 1998.
Dengan situasi yang relatif bebas, bahkan kerap kebebasan yang dipandang kebablasan, tidak mudah bagi generasi tersebut untuk merasakan represi yang diderita masyarakat di era Orde Baru. Dengan demikian nilai-nilai yang hendak dikembangkan dengan Reformasi 1998, seperti kebebasan, demokrasi, dan HAM, menjadi tidak mudah diinternalisasikan.
Meski tidak dapat digeneralisasi begitu saja, namun patut disadari kehadiran generasi tersebut sebagai anak zaman dari era reformasi. Agaknya perlu dilakukan studi secara lebih mendalam dan serius mengenai generasi tersebut, dan tidak hanya sekedar pooling yang lebih bertujuan untuk kepentingan elektoral pemilu belaka.
Berdasarkan pemahaman tentang situasi serta juga hasil dari exit pool pada Pemilu 2024, secara garis besar dapatlah ditelaah pola pemilihan yang berlangsung. Memang yang akan dikemukakan di sini masih perlu didiskusikan, malah diperdebatkan lebih lanjut.
Terdapat pemilih yang menghendaki perubahan dari status quo yang ada sekarang, meski cenderung masih dalam bentuk daftar keinginan dan belum dijabarkan secara cukup rinci. Terdapat pula keinginan penerusan pola yang selama ini terdapat.
Namun yang terbesar adalah arus pragmatisme dalam memandang kekuasaan maupun kesejahteraan, terutama berdasarkan fenomena yang selama ini terdapat. Bahkan di kalangan generasi yang lebih baru dapat dikatakan terjadi semacam keinginan untuk akselerasi pragmatisme secara instan dan melalui jalan pintas.
Kemudian arus besar tersebut disertai pula dengan mereka yang pernah mendapatkan manfaat dari era Orde Baru, serta kemudian karena kurangnya pemahaman terutama dari generasi baru mengenai nilai-nilai yang harus diperjuangan maka relatif tidak terjadi resistensi yang signifikan.
Berdasarkan arus besar yang digambarkan pada pola pemilihan pada Pemilu 2024, maka sulit peluangnya untuk memperjuangkan kebebasan, demokrasi, dan HAM dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Apalagi dengan adanya kecurangan pada Pemilu 2024 sebagaimana yang banyak dituduhkan.
Selanjutnya bila kecurangan Pemilu 2024 dilegalkan, maka landasan etika universal bahkan hukum sekalipun cenderung ditempatkan di bawah kepentingan kekuasaan. Hingga apabila Pemilu 2024 dilakukan secara curang, maka kebebasan, demokrasi, dan HAM akan terancam eksistensinya, dan kesewenang-wenangan akan semakin merajalela.
Dari uraian tersebut di atas, bila demikian, maka patut dipertanyakan apakah gambaran situasi tersebut akan memberikan prediksi yang cerah bagi masa depan ? Ataukah sebaliknya akan menimbulkan kecemasan akan masa depan ?
Penyadaran Masyarakat
Kemungkinan pelemahan pelaksanaan kebebasan, demokrasi, serta HAM pada gilirannya akan membuka peluang terjadinya penyelewengan terutama dalam bentuk KKN. Dapat dikatakan terjadi kesenjangan mengenai pemahaman serta kesadaran mengenai hal ini. Apabila hal ini tidak diatasi akan memberikan gambaran yang suram mengenai masa depan Indonesia.
Penyadaran masyarakat akan nilai-nilai luhur yang harus menjadi integritas diri tampaknya kurang mendapat perhatian. Tonggak sejarah 2045 yang disebut sebagai Indonesia Emas lebih banyak menekankan pada aspek pertumbuhan sebagai raksasa ekonomi dan kemakmuran.
Tidak ditekankan bahwa Indonesia Emas juga harus diartikan pada saat tersebut rakyat Indonesia juga memiliki integritas diri yang kokoh dalam bentuk tata nilai luhur yang tertanam dalam dirinya.
Dalam hal ini diperlukan penanaman integritas yang kokoh, bukannya yang mudah goyah karena godaan kekuasaan maupun materi.
Penyadaran masyarakat tidak hanya terbatas mengenai kesadaran akan nilai-nilai luhur yang perlu diperjuangkan, namun lebih jauh lagi penyadaran untuk bersikap bila terjadi pelanggaran terhadapnya.
Penyadaran masyarakat dapat dijalankan melalui pendidikan politik baik seara formal maupun dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, mutlak perlu disertai dengan keteladan dalam kehidupan nyata.
Diperlukan inovasi dalam penyadaran masyarakat sesuai dengan perkembangan zaman maupun sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Ini semua merupakan tantangan kita semua untuk penelaahan lebih lanjut dalam rangka perwujudannya demi harapan yang cerah menuju Indonesia yang dicita-citakan. (Penulis adalah Dosen Pasca Sarjana Universitas Prof. Dr. Mortopo -Beragama dan Presidium Gerakan Penegak Kedaulatan Rakyat)