(Oleh : Dr. Paulus Januar, drg, MS)
Meimonews.com – Hingga saat ini AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) tetap merupakan penyakit yang menjadi permasalahan besar. AIDS sempat membuat geger dunia pada era 1980-an hingga 1990-an. Meski mungkin sudah tidak banyak menyita perhatian, tapi sebenarnya tetap merupakan permasalahan serius di bidang kesehatan dan kehidupan masyarakat.
Selama ini mereka yang terjangkit HIV/AIDS telah menurun drastis, sedangkan orang yang yang mendapatkan perawatan terutama kaum miskin meningkat jumlahnya. Demikian pula pencegahan juga semakin intensif dilakukan.
Namun, di lain pihak, dalam era kemajuan upaya mengatasinya, ternyata banyak orang yang sebenarnya berisiko terkena AIDS namun tidak mendapatkan akses untuk pencegahan, pengobatan, dan perawatan.
Terjadi kesenjangan dalam penanganan mengatasi HIV/AIDS. Kesenjangan tersebut terjadi disebabkan faktor ekonomi, sosial, dan kultural, maupun karena stigma dan diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS sebagai mereka yang dianggap pembawa aib di masyarakat. Hal ini merupakan tantangan kita bersama.
Penyakit AIDS
AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang terjadi karena menurunnya fungsi imunitas tubuh. AIDS penyebabnya adalah virus HIV (Human Immunodeficiency Virus).
Penularan HIV terjadi melalui sperma, darah, cairan vagina, dan dari ibu pada janin yang dikandungnya.
Dengan demikian risiko tertular HIV sebagian besar dapat terjadi pada hubungan seks dengan pengidap HIV, serta penggunaan jarum suntik dan alat kesehatan secara bergantian.
Pencegahan HIV/AIDS dilakukan dengan menghindari penularannya. Hal yang dapat dilakukan antara lain dengan perilaku seksual yang baik, menggunakan kondom bila melakukan hubungan seks yang berisiko, serta penggunaan alat kesehatan dan jarum suntik yang steril.
Hingga saat ini belum terdapat obat untuk menyembuhkan HIV-AIDS. Di masa lalu penderita AIDS akan berakhir dengan kematian. Namun sejak 1995 telah ditemukan pengobatan HAART (High Active Anti- Retroviral Therapy) dengan menggunakan obat seperti Abacavir, lamivudine, serta zidovudine, dan masih banyak lagi temuan baru lainnya.
Pengobatan HAART tidak menyembuhkan, namun hanya menghambat perkembangan virus HIV.
Dengan pengobatan HAART pada pengidap HIV dapat menjadikan virus HIV tidak terdeteksi. Kemudian pengindap HIV yang mengkonsumsi HAART efektif tidak menularkan ke orang lain.
Tidak terdeteksi bukan berarti tidak ada sama sekali, melainkan jumlahnya sangat sedikit hingga tidak terdeteksi dengan tes viral load. Akan tetapi bila pengobatan HAART terhenti maka virus HIV terdeteksi kembali, hingga pengobatan harus dilakukan terus seumur hidup.
Dengan pengobatan HAART secara terus menerus maka pengidap HIV dapat mencapai usia harapan hidup yang relatif sama seperti orang normal lainnya. Dengan ditemukannya pengobatan HAART maka AIDS tidak lagi merupakan penyakit yang mematikan, melainkan menjadi penyakit yang dapat dikendalikan.
Saat ini, belum berhasil ditemukan vaksin untuk mencegah AIDS, meski penelitiannya telah berlangsung selama lebih dari 3 dekade. Namun pada 1996 diketahui obat HAART seperti Truvada and Descovy dapat digunakan untuk post-exposure prophylaxis (PEP) maupun kemudian untuk pre-exposure prophylaxis (PrEP) yakni untuk mencegah penularan HIV pada hubungan seks yang berisiko, korban perkosaan, atau bila terpapar darah maupun produknya.
Menurut Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat, PrEP dapat mencegah penularan HIV karena hubungan seks hingga 99%, sedangkan pada penggunaan jarum suntik yang tercemar dapat mencegah penularan HIV sekitar 74%.
Namun, PrEP hanya mencegah penularan HIV dan tidak terhadap penyakit menular seksual lainnya, hingga tindakan pencegahan sesuai pedoman safer sex tetap perlu dilakukan.
Merebaknya, Covid-19 menyebabkan terhambatnya pelayanan kesehatan. Dengan adanya Covid-19 menyebabkan pelayanan kesehatan untuk HIV/AIDS juga mengalami hambatan, bahkan di beberapa negara berkembang berkurang sampai sebesar 75 %.
Padahal HIV/AIDS akan memperparah keadaan bila terkena COvid-19. Penelitian di Inggeris dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa pada pengindap HIV risiko meninggal bila terkena Covid-19 meningkat dua kali lipat.
Dengan demikian, penting bagi pengindap HIV/AIDS untuk intensif melakukan pencegahan Covid-19 serta dilakukan vaksinasi. Sedang bila penderita HIV/AIDS terkena Covid-19 perlu mendapatkan akses perawatan serta diberikan perhatian khusus. Namun sayangnya di beberapa negara masih terjadi diskriminasi dimana pengidap HIV ditolak untuk mendapatkan vaksinasi Covid-19.
Epidemi HIV/AIDS
Sejak pertama kali muncul di tahun 1981 hingga kini AIDS tetap merupakan ancaman terhadap kehidupan masyarakat.
Meski dapat dicegah, namun saat ini di dunia terdapat sekitar 38 juta orang pengindap HIV dan 12,6 juta di antaranya tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Setiap tahun terdapat 1,7 juga orang tertular HIV, dan diperkirakan 690.000 orang meninggal karena AIDS.
Di Indonesia, data Kementerian Kesehatan RI, sejak pertama kali ditemukan di tahun 1987 hingga maret 2021, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia sebanyak 558.618 orang yang terdiri atas 427.201 orang pengidap HIV dan 131.417 orang penderita AIDS. Kasus HIV/AIDS tersebut dilaporkan terdapat di 498 kabupaten dan kota dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia.
HIV/AIDS tidak hanya berdampak terhadap kondisi kesehatan maupun biaya kesehatan, namun juga mempengaruhi kehidupan sosial kemasyarakatan seperti meningkatnya kemiskinan, menurunnya produktivitas, dan keresahan sosial.
Bahkan, penderita HIV/AIDS dapat mengalami stigmatisasi dan diskrinimasi dalam kehidupan sosial seperti dijauhi oleh lingkungannya, dikeluarkan dari sekolah, sulit medapatkan pekerjaan dan sebagainya.
Hari AIDS Sedunia
Tanggal 1 Desember setiap tahun sejak 1988 diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia (World AIDS Day). Peringatan tersebut dilakukan untuk memperteguh komitmen, meningkatkan perhatian dan upaya mengatasi AIDS.
Tahun 2021 ini tema yang dipilih adalah: Mengakhiri Kesenjangan – Mengakhiri AIDS (End Inequality – End AIDS).
Tema ini ditetapkan dengan pertimbangan bahwa kesenjangan merupakan permasalahan utama yang menghalangi penanganan HIV-AIDS. Kesenjangan menimbulkan implikasi yang serius terhadap kesehatan termasuk pada penanganan HIV/AIDS.
Kesenjangan bukan saja dalam bentuk kesenjangan kondisi kesehatan namun juga terhadap faktor-faktor sosial yang mempengaruhi kesehatan yakni kesenjangan dalam pendidikan, ekonomi, kultural, dan tingkat sosial.
Kesenjangan menghalangi asesibilitas untuk mendapatkan pencegahan, pemeriksaan, dan perawatan AIDS hingga mengakibatkan pengindap HIV/AIDS terlambat penanganannya.
Hingga saat ini, permasalahan utama dalam mengatasi HIV/AIDS bukan karena karena kurangnya pengetahuan dan sarana, namun terutama karena masih terjadinya kesenjangan sosial yang menghambat asesibiltas penanganan HIV/AIDS.
Kesenjangan sosial yang umumnya bersifat struktural ini mengatasinya tidak dapat hanya dilakukan oleh sektor kesehatan saja, melainkan harus dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat beserta pemerintah.
Diperlukan upaya-upaya untuk mengatasi kesenjangan sosial yang selama ini menjadi penghalang untuk mendapatkan akses yang sama dalam pencegahan, pemeriksaan, dan perawatan HIV/AIDS. Bahkan tindakan afirmasi perlu pula dilakukan untuk mereka yang tersisihkan, terutama mereka yang berisiko tertular HIV.
Lebih jauh lagi, kesenjangan sosial dapat menimbulkan implikasi yang berpengaruh pada meningkatnya HIV/AIDS di masyarakat, antara lain : pertama, Kesenjangan sosial dalam bentuk kemiskinan bukan saja dapat mengakibatkan rendahnya kondisi kesehatan. Kemiskinan dapat mengakibatkan terjerumusnya kaum perempuan menjadi pekerja seks komersial yang mengakibatkan meningkatnya risiko penularan HIV.
Kedua, Ketidaksetaraan jender dapat mengakibatkan istri tidak berdaya menghadapi suaminya yang sering bermain dengan pekerja seks komersial, bahkan tidak dapat memaksakan suaminya untuk melakukan hubungan seks yang aman dengan dirinya.
Ketiga, Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan sulitnya untuk dapat memahami bahaya HIV/AIDS dan tindakan pencegahannya. Keempat, Ketiadaan lapangan kerja, kondisi lingkungan perumahan yang buruk, serta keresahan sosial dapat mendorong untuk menggunakan narkoba yang dapat berisiko mengalami penularan HIV.
Berdasarkan kenyataan tersebut maka penanganan HIV/AIDS tidak melulu merupakan kegiatan di bidang kesehatan saja, tapi secara simultan perlu dibarengi dengan program mengatasi kesenjangan sosial. Semoga upaya kita bersama dapat secara tuntas mengatasi permasalahan HIV/AIDS. (Penulis adalah Pakar Kesehatan Masyarakat)