Oleh : Agnes Pratiwi Senduk
Meimonews.com – Beberapa hari lalu, ketika bertelepon dengan seorang jurnalis senior, saya mendapatkan pengetahuan baru dari beliau. Saya belajar bagaimana seorang jurnalis sebaiknya tidak gegabah dalam mengeluarkan berita, meskipun sudah mengantongi data-data akurat. Terkadang, moralitas mesti didahulukan dibanding kebenaran.
Beliau mengajarkan, di atas kebenaran yang diberitakan, ada resiko-resiko yang tertanggung. Beliau ceritakan salah satu contoh ketika seseorang meliput skandal perselingkuhan pejabat atau hamba-hamba Tuhan. Sebagai jurnalis, berita-berita panas seperti ini tentu sangat menggiurkan sebab sudah pasti bakal diminati banyak orang. Namun, pemberitaan tentang skandal ini punya potensi untuk menghancurkan masa depan keluarga seseorang.
“Siapa tahu kan pelaku perselingkuhan dan pasangan sahnya sudah bercerita baik-baik, sudah mau ada penyelesaian masalah dengan cara damai, ehh.. begitu berita dinaikkan akhirnya mereka berkonflik lagi lalu bercerai,” ujarnya dalam percakapan telepon singkat kami.
Saya turut merefleksikan apa yang beliau utarakan sembari mendengar pengalaman-pengalamannya yang lain. Saya setuju, kebijaksanaan inilah yang sepatutnya hadir dalam jiwa seorang penulis; kebijaksanaan untuk menyaring sampai batas mana kebenaran perlu langsung diungkap dalam tulisan dan mana yang sebaiknya berhenti pada klarifikasi lisan dengan pelaku.
Sebagai seorang penulis pemula, meskipun bukan jurnalis, saya sendiri terkadang menulis hanya dengan mempertimbangkan benar-salah dan jika kemudian menyentuh ranah personal, saya tidak begitu peduli dengan keadaan individu atau kelompok yang saya tulis (catatan: saya hanya berani menulis tentang seseorang/kelompok tertentu jika punya bukti kuat tentang keterkaitan mereka dengan suatu kasus yang relevan dengan tulisan saya).
Kebijaksanaan seorang penulis pertama-tama adalah dengan melakukan penyelidikan lanjutan terhadap informasi yang hendak dimasukkan dalam tulisan. Dalam jurnalistik, hal ini diawali dengan proses verifikasi informasi. Verifikasi adalah proses menemukan kebenaran dengan melakukan konfirmasi ke pihak terkait (agar bisa mendapat informasi dari dua sisi) serta mengumpulkan data-data penunjang yang valid.
Saya ingat dulu ajaran kakek saya yang diturunkan ke orang tua saya lalu diturunkan ke saya dan kakak: Ketika menerima informasi, kita tidak boleh terburu-buru mempercayainya, meskipun yang menyampaikan adalah orang yang dekat dengan kita. Pertanyaan pertama yang harus kita tanyakan adalah “Apa betul begitu (kejadiannya)?”
Kakek saya menggunakan nama acara gosip artis di RCTI yang dulu sangat terkenal pada masanya, yaitu Cek & Ricek, untuk menjelaskan langkah penting yang harus dilakukan sebagai penerima informasi, sebelum kita meneruskan informasi tersebut kepada orang lain.
Cek & ricek sebenarnya berasal dari bahasa Inggris check & recheck yang bermakna melakukan pengecekan berulang kali sebelum mempercayai sesuatu sebagai kebenaran. Sekelas acara gosip artis saja mengedepankan jargon seperti ini. Jadi, harusnya penulis-penulis lain pun menerapkan hal ini dalam tulisannya.
Setelah proses cek & ricek selesai, penulis akan mendapatkan tiga kemungkinan jawaban, yakni informasi tersebut (1) terbukti benar, (2) terbukti tidak benar atau (3) belum jelas kebenarannya. Jika informasi tersebut sudah terbukti tidak benar, maka apabila tetap dimasukkan ke dalam tulisan, tentu isinya akan berbentuk fitnahan. Namun, jika informasinya benar, maka hal ini bisa digunakan sebagai data dalam tulisan. Sementara itu, apabila informasi tersebut belum jelas, maka penulis dapat memilih untuk mengabaikan informasi ini dan mencari bahan tulisan baru atau melakukan investigasi yang lebih dalam lagi dengan mengubah metode yang digunakan.
Saya beberapa kali menemukan penulis melangkahi proses cek & ricek yang penting ini, entah disengaja maupun tidak. Dalam beberapa kasus, saya bahkan menyaksikan ada jurnalis yang melempar informasi “panas” yang sama sekali belum ditelusuri kebenarannya, atau malah sudah diinvesitigasi pihak berwenang dan terbukti tidak benar, tetapi toh tetap dimuat dalam berita sehingga merugikan banyak pihak. Individu, kelompok, badan usaha, atau instansi pemerintah yang terkait dalam pemberitaan seperti ini seringkali harus diperhadapkan dengan situasi sulit.
Mulai dari perundungan secara personal, kehilangan pekerjaan, kehilangan kepercayaan publik, sampai usahanya ditutup, menjadi ancaman di depan mata yang kemudian bisa merembet ke hal-hal pribadi. Orang yang kehilangan pekerjaan misalnya, bisa-bisa bercerai dengan pasangannya atau diusir orang tuanya.
Pun resiko yang lebih besar lagi bisa terjadi apabila kemarahan publik dipantik melalui artikel yang tidak jelas, misalnya terjadi pemukulan terhadap orang yang berasal dari ras atau profesi yang sama dengan orang yang muncul dalam pemberitaan, meskipun orang yang dipukul tersebut tidak saling kenal dengan orang yang diberitakan.
Lebih sering lagi saya temukan penulis yang membelokkan makna dari keseluruhan hasil konfirmasi suatu informasi dengan hanya mengambil sepenggal ujaran/tulisan narasumber untuk menggiring opini pembaca. Padahal, sudah seharusnya penulis menghormati narasumber dengan tidak memotong pernyataannya sampai menghilangkan konteks yang sebenarnya.
Kasus seperti ini paling sering ditemukan ketika membaca berita (lokal maupun nasional). Saking banyaknya jenis berita yang demikian, saya sekarang lebih memilih mencari informasi dari Youtube yang bagi saya lebih bisa menyajikan konteks utuh wawancara atau pidato dan lain sebagainya dari orang dalam pemberitaan.
Pernah juga saya mengkritik pemberitaan media lokal yang melakukan investigasi, tapi tidak menyeluruh. Kasus yang diangkat waktu itu pungli di sebuah sekolah. “Investigasi” yang dilakukan hanya sebatas mencari keterangan dari orang tua (yang mengklaim anaknya dipaksa membayar uang sekolah oleh walikelas) serta konfirmasi keterangan kepala sekolah (yang menyatakan bahwa dia baru mendengar masalah tersebut dan akan melakukan investigasi lanjutan).
Bukannya menunggu hasil investigasi internal pihak sekolah atau melakukan investigasi sendiri dengan metode yang cermat, jurnalis tersebut malah langsung menjadikan keterangan dua pihak di atas sebagai berita lalu menggunakan penggalan pernyataan seorang anggota DPR (yang meminta Gubernur mencopot sang kepala sekolah) dalam judul berita yang lain sehingga timbul kesan kepala sekolah benar terlibat dalam kasus pungli.
Padahal, mungkin kasus tersebut memang benar terjadi, tapi dilakukan oknum guru tanpa sepengetahuan kepala sekolah. Bayangkan resiko pemecatan dan rasa malu yang menghantui sang kepala sekolah akibat pemberitaan yang terburu-buru seperti ini, padahal dia bisa jadi tidak terlibat melakukan pungli.
Apakah bijak seorang penulis, apalagi jurnalis yang harusnya bertanggung jawab kepada kebenaran, untuk membuat tulisan seperti itu ?
Selanjutnya, kebijaksanaan terpenting yang mesti dimiliki penulis adalah saat dia telah menemukan kebenaran dan apa yang akan dilakukan dengan kebenaran tersebut. Haruskah kebenaran tersebut segera diberitakan ? Apakah kebenaran tersebut akan lebih banyak mendatangkan kebaikan atau malah kehancuran ke depannya ?
Barangkali pertanyaan-pertanyaan ini harus didahulukan di benak setiap penulis sebab tanggung jawab besar dalam mengontrol persepsi publik ada di tangan penulis.
Mungkin ada yang masih ingat kasus Sonya Depari, seorang siswi SMA asal Medan yang bersitegang di jalan dengan polwan. Siswi ini mengklaim dirinya anak seorang jenderal dan sempat melontarkan kata-kata kasar “Kutandai kau!” ke arah sang polwan yang menegurnya karena melakukan pelanggaran lalulintas. Setelah videonya viral, muncul begitu banyak lelucon netizen menggunakan kata-kata “Kutandai kau!” atau “Si Anak Jenderal” untuk mencela perbuatan Sonya.
Kasus Sonya berlangsung cukup lama dan sangat viral di mana-mana, sehingga mungkin selamanya kata-kata “Kutandai kau!” akan terus menjadi ejekan untuk dirinya. Bersamaan dengan ejekan netizen, berbagai media turut sibuk menyematkan kata-kata ejekan “Si Anak Jenderal” atau “Kutandai kau” ke dalam pemberitaan tentang Sonya.
Setelah beberapa bulan, pemberitaan tentang Sonya berangsur-angsur hilang dari sorotan publik sehingga jumlah orang yang mengetahui kasus Sonya ini tidak akan sebanding dengan jumlah orang yang mengetahui fakta menyakitkan bahwa ayah dari Sonya meninggal di tahun yang sama karena stres dengan pemberitaan yang beredar.
Kekuatan tulisan bisa menyelamatkan banyak orang, tapi juga bisa membunuh dalam senyap. Dalam contoh kasus Sonya di atas, kata-kata “anak Jenderal” dan “Kutandai kau!” memang benar terucap dari mulutnya. Namun, kebenaran tersebut tidaklah bijak untuk terus-menerus dipublikasikan oleh media karena berpotensi mengundang publik untuk tidak berhenti menghujat Sonya. Hujatan tersebut pada akhirnya membuat orang lain terbunuh.
Ada beragam perspektif yang juga penting untuk diangkat dalam tulisan sehingga keseimbangan tulisan terjaga. Pada kasus Sonya Depari, jurnalis bisa memberitakan fakta bahwa telah terjadi cyberbullying yang luar biasa akibat viralnya kasus tersebut.
Hal-hal seperti ini penting untuk diberitakan, bukan dalam rangka membela kelakuan siswi tersebut, tetapi untuk mengontrol amukan massa yang berlebihan terutama di dunia maya sekaligus mengedukasi orang-orang tentang bahaya cyberbullying. Sayangnya, hampir tidak ada media yang mengangkat pemberitaan Sonya dari perspektif tersebut.
Penulis hendaknya bijaksana dalam menggali kebenaran informasi dan dalam menggunakan kebenaran tersebut pada tulisan-tulisannya. Penulis wajib menggunakan metode yang objektif dalam menemukan kebenaran serta tidak menyamarkan sentimen pribadi ke dalam sebuah fakta.
Apabila gagal menemukan kebenaran dalam informasi, penulis harus punya kesadaran moral untuk menarik diri dari publikasi tulisannya, agar tidak melahirkan fitnahan.
Penulis juga harus jeli melihat resiko yang mengikuti ketika tulisannya dibaca banyak orang; tidak semua masalah harus selalu diberitakan secara luas.
Masalah-masalah tertentu, meskipun mungkin memiliki unsur kebenaran, ada kalanya lebih baik jika diselesaikan secara internal saja dan tidak perlu menjadi konsumsi publik.