(oleh : Taufik M Tumbelaka)
Geliat eksistensi dunia pers terasa semakin terlihat pasca terjadinya reformasi politik Indonesia pada tahun 1998. Jika di era sebelumnya, terlebih khusus era rezim Soeharto pers seperti terpasung oleh kekuasaan sehingga dunia pers nampak kesulitan melakukan tugas-tugasnya secara ideal seperti yang seharusnya.
Apa yang dihadapi oleh kalangan pers saat itu otomatis merugikan masyarakat guna memperoleh hak akan informasi yang seharusnya didapat, salah satunya dari berita-berita yang objektif, berimbang dan terpercaya.
Tahun 1998 seperti titik balik dari kalangan pejuang demokrasi dan juga pers di Indonesia, perubahan yang terjadi membuat demokrasi semakin menggeliat kearah yang lebih baik dan otomatis peran pers mendapat perhatian lebih serius.
Hal ini terlihat saat era reformasi terbuka maka dalam tempo sekitar satu tahun telah terbit UU Nomer 40 tahun 1999, lahir UU ini menunjukan bukan hanya strategisnya posisi pers diera reformasi tapi juga istimewa. Nampak jelas era reformasi menaruh harapan besar akan peran pers sebagai pilar ke empat.
Filsuf dari Perancis, Montesquieu (1689 -1755), mengembangkan pilar negara dengan tiga pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang dikenal menjadi Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Ini merupakan pengembangan dari pemikiran filsuf Inggeris John Locke (1632 – 1704) yang mengeritik kekuasaan absolut para raja Stuart. John Locke mengangkat kekuasaan dibagi menjadi kekuasaan legislatif, eksekutif dan federatif.
Namun dalam lintasan sejarah dunia politik modern tiga pilar yang dikenal itu terrasa menyisakan ruang kosong yang perlu diisi agar dapat memperkuat 3 pilar yang sudah ada. Dikemudian hari ruang kosong itu diisi oleh pers. Harapan yang tinggi kepada pers menyebabkan sebagai Pilar ke empat yang juga mendapat julukan Four Estate.
Dalam perjalanan pers di era reformasi nampak pers mulai dapat menemukan jati diri sebagai Pilar ke Empat. Hak rakyat akan informasi yang di masa lalu kurang terpenuhi kemudian mulai dapat diisi berita-berita oleh kalangan pers.
Memasuki tiga dekade eksistensi pers di era reformasi nampaknya menghadapi sejumlah tantangan baru terkait pemberitaan, dalam hal ini kualitas sajian, objektifitas dan lainnya.
Tingginya harapan masyarakat membuat kalangan pers harus terus membenahi diri guna menjawab harapan yang terus tumbuh. (Kode Etik Jurnalistik, Cover Bolt SIide, Hak Jawab, Hak Koreksi, Wacth Dog dan lain-lain).
Posisi pers sebagai Four Estate nampakmya bukan hanya urusan politik tentang ‘keseimbangan’ antara Pemangku Kebijakan dan Publik, namun secara “kebetulan” sejarah dunia peran pers juga menjadi penting ketika terjadi suatu peristiwa mega sosial yang saat ini dirasakan dunia, pandemi covid-19.
Sinergi antara Pemangku Kebijakan (baca: Negara – Pemerintah) dengan pers sangat dibutuhkan. Negara perlu melakukan komunikasi informasi berupa kehumasan yang kuat tidak hanya urusan memberi informasi yang valid dan sistemtis namun juga memiliki tantangan agar dapat merangkul masyarakat agar dengan sadar dapat ikut bersama-sama menghadapi pandemi covid-19 dalam bentuk pedekatan pola himbau agar masyarakat terrangkul dalam satu gerakan bersama.
Situasi pandemi ini menimbulkan tantangam besar baru bagi kalangan pers dikarenakan posisi strategisnya membuat terjadi ruang di mana menuntut sumbangsih besar agar pandemi covid-19 dan dampak sosial – ekonomi yang terjadi dapat sesegera mungkin teratasi.
Pertanyaannya, sejauh dan sebesar apa kalangan pers akan mengambil peran sumbangsihnya, nanti waktu yang akan menjawab dan sejarah akan mencatat ? (Penulis adalah Pengamat Politik dan Penerintahan Sulut)