Meimonews.com – Setidaknya, ada tiga akibat dari peristiwa kekerasan yang terjadi pada dr. Carel Triwiyono di Lampung terutama disebabkan karena pemahaman yang tidak tepat mengenai ketidakberhasilan pelayanan kesehatan serta ketidak percayaan yang selama ini berkembang di masyarakat.
Tiga akibat itu adalah opini negatif terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan, kriminalisasi terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan, dan tindakan kekerasan main hakim sendiri terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan
“Dalam rangka mengatasinya perlu perlindungan hukum terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan secara memadai,” ujar Biro Hukum dan Kerjasama PB PDGI dan Ketua Badan Kehormatan dan Etik Mediator dan Legislasi PKMBI (Perkumpulan Konsultan Mediasi Bersertifikat Indonesia) Dr. drg. Paulus Januar, MS, CMC pada zoom meeting bertemakan Edaran Keprihatinan dan Solidaritas Dokter Gigi PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia) yang dipandu Dr. Hadiwijaya (PB IDI), Kamis (26/4/2023).
Disebutkan, rumusan pada Undang Undang yang berlaku sekarang bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan mendapat perlindungan hukum sepanjang pelaksanaan profesinya sesuai etika dan standar dipandang kurang memadai dan absurd.
Diungkapkan, Pada Rapat Dengar Pendapat di hadapan Komisi IX DPR mengenai pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law dari PDGI dan IDI mengusulkan rumusan yang lebih konkret bahwa Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan tidak dapat dituntut pidana dan perdata sepanjang pelaksanaan profesinya sesuai dengan etika dan standar.
Terhadap pelanggaran pelaksanaan profesi tenaga medis dan tenaga kesehatan perlu dilakukan pemilahan secara jelas antara pelanggaran pidana, pelanggaran perdata, dan pelanggaran administrasi. Dengan demikian, tidak terjadi setiap sengketa medis cenderung dibawa ke ranah pidana hingga terjadi kriminalisasi terhadap tenaga medis an tenaga kesehatan.
“Menghentikan kriminalisasi terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan bukan berarti impunitas karena terhadap pelanggaran yang terjadi dari kalangan profesi juga tidak menghendaki terjadinya dan perlu dikenakan sanksi,” ujarnya.
Konsekuensi tanpa adanya pengaturan yang jelas, menurutnya, berpotensi akan menyebabkan terjadinya praktik defensif (defensive practice) yakni untuk menghindari tuntutan praktik dilakukan pemeriksaan secara berlebihan, kecenderungan menghindari penanganan kasus yang berisiko, dan melindungi diri dengan asuransi profesi secara berlebihan.
“Sebagai akibatnya, masyarakat akan dirugikan dengan pelayanan kesehatan yang sebenarnya tidak diperlukan serta berbiaya tinggi,” tandasnya.
Dalam rangka perlindungan terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan diperlukan peranan organisasi profesi karena upaya perlindungan akan lebih efektif bila dijalankan sebagai kegiatan yang terorganisasi. Terlebih dari itu organisasi profesi berperan dalam etika profesi dan standar profesi.
Menurutnya, wadah tunggal organisasi profesi dibutuhkan untuk menjaga pelaksanaan etika profesi dan standar profesi. Bila terdapat lebih dari 1 organisasi profesi maka seorang yang bermasalah di bidang etika ataupun standar profesi pad sebuah organisasi dapat saja berpindah ke organisasi lainnya.
Dengan demikian, sebutnya, dapat terjadi ketidakpastian dalam pelaksanaan etika dan standar profesi. Bila hal ini terjadi maka yang dirugikan bukan hanya kalangan profesi namun terlebih lagi masyarakat yang dirugikan.
“Apa yang terjadi pada dokter Carel Triwiyono di Lampung diharapkan dapat menyadarkan bahwa di balik kasus tersebut terdapat suatu kebutuhan penataan pelayanan kesehatan yang perlu ditangani secara seksama terutama yang menyangkut perlindungan terhadap tenaga kesehatan serta peran profesi,” ujarnya.
Dengan penataan yang baik, sambungnya, diharapkan tumbuh pandangan yang tepat tentang pelayanan kesehatan serta semakin tumbuhnya kepercayaan masyarakat. (Fer)