(Oleh : Dr. Paulus Januar)

Meimonews.com – Kelainan refraksi (refractive error) merupakan gangguan penglihatan yang paling banyak dialami. Diperkirakan, lebih dari setengah penduduk dunia menderita kelainan refraksi.

Secara global, kelainan refraksi menyebabkan sekitar seperlima dari seluruh kasus kebutaan. Kelainan refraksi merupakan penyebab kebutaan kedua setelah katarak.

Kelainan refraksi yang terbanyak adalah miopia (rabun jauh). Selain itu, terdapat pula hipermetropia (rabun dekat), astigmatisme (mata silindris), presbiopia (rabun dekat usia lanjut).

Miopia atau rabun jauh adalah gangguan tidak dapat melihat obyek yang jauh dengan jelas. Hipermetropia atau rabun dekat adalah gangguan tidak dapat melihat obyek yang dekat dengan jelas.
Astigmatisme atau mata silindris adalah gangguan penglihatan menjadi buram ataupun mengalami distorsi dalam melihat obyek yang dekat maupun jauh.

Presbiopia atau rabun dekat usia lanjut adalah gangguan pada daya akomodasi lensa mata yang berkurang, umumnya pada usia di atas 40 tahun, hingga kemampuan melihat dekat serta membaca berkurang.

Mengatasi kelainan refraksi umumnya dengan mengenakan kacamata koreksi.  Selain itu dapat dengan menggunakan lensa kontak. Kemudian, dapat pula dilakukan bedah retraktif seperti LASIK (Laser-Assisted In Situ Keratomileusis) maupun dapat dilakukan dengan menanamkan lensa intraokular di mata.

Berdasarkan World Report on Vision, diperkirakan di seluruh dunia terdapat 4,7 miliar orang yang mengalami kelainan refraksi dan memerlukan tindakan koreksi. Namun, ternyata, dari mereka yang mengalami kelainan refraksi, 2,7 miliar di antaranya tidak dikoreksi dan sebagian besar merupakan penduduk negara berkembang.

SPECS 2030 : Mengatasi Kelainan Refraksi dan Mengupayakan Asesibilitas Kacamata Koreksi
Pada 14 Mei 2024 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meluncurkan SPECS 2030 initiative. SPECS 2030 merupakan inisiatif agar setiap orang yang membutuhkan perawatan kelainan refraksi mendapatkan pelayanan kesehatan mata yang berkualitas, terjangkau, dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat.

Dengan dilaksanakannya SPECS 2030 diharapkan dapat dicapai target global yakni pada tahun 2030 terdapat peningkatan cakupan efektif pelayanan kelainan refraksi sebesar 40 persen. Target tersebut ditetapkan pada Pertemuan Kesehatan Dunia (World Health Assembly) di tahun 2021.

SPECS 2023 dikonotasikan pada singkatan dari spectacles yang dalam bahasa Inggris berarti kacamata. Selanjutnya, program utama yang dilaksanakan dirumuskan sebagai SPECS yang merupakan akronim dari :pertama, Services : pengembangan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mata, terutama untuk mengatasi kelainan refraksi; Kedua, Personnel : pengembangan kapasitas tenaga kesehatan mata.

Ketiga, Education : meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kesehatan mata; Keempat, Cost. mengatasi pembiayaan kacamata dan pelayanan kesehatan mata; Kelima, Surveilance: meningkatkan pengumpulan data dan penelitian

Selama ini, terdapat kebutuhan pelayanan kesehatan mata untuk mengatasi kelainan refraksi yang tidak dapat terpenuhi. Padahal terdapat cara yang tidak terlalu sulit dan relatif tidak berbiaya tinggi untuk mengatasinya yaitu dengan mengadakan kacamata untuk mengkoreksi kelainan refraksi.

SPECS 2023 terutama ditujukan agar mereka yang mengalami kelainan refraksi dan tidak dikoreksi dapat memperoleh kacamata. Dalam rangka mewujudkannya dibutuhkan kolaborasi dalam tingkat global hingga dapat terlaksana peningkatan yang signifikan dalam cakupan pelayanan kesehatan mata untuk mengatasi kelainan refraksi.

Dengan SPECS 2030 diharapkan dapat menunjang upaya agar setiap orang akan memiliki penglihatan yang baik. Dengan penglihatan yang baik maka dapat mengaktualisasikan potensi diri untuk kehidupan yang lebih baik.

Penanggulangan Kelainan Refraksi di Indonesia
Program penanggulangan kelainan refraksi di Indonesia merupakan bagian dari pelaksanaan Peta Jalan Penanggulangan Gangguan Penglihatan 2017-2030 yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peta jalan tersebut merupakan rencana kerja penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan di Indonesia untuk kurun waktu 2017-2030.

Pelaksanaan Peta Jalan Penanggulangan Gangguan Penglihatan 2017-2030 terintegrasi dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dijalankan oleh Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Kesehatan  (BPJS Kesehatan).

Tujuan umum yang hendak dicapai adalah tersedianya pelayanan kesehatan mata yang berkualitas untuk seluruh masyarakat lndonesia yang membutuhkan tanpa adanya hambatan ekonomi sehingga setiap orang di Indonesia mempunyai penglihatan optimal dan dapat sepenuhnya mengembangkan potensi diri.

Berdasarkan Peta Jalan tersebut penanggulangan gangguan penglihatan di lndonesia dibagi menjadi dua. Pertama, mengatasi gangguan penglihatan akibat katarak yang merupakan penyebab terbesar terjadinya kebutaan. Kedua, mengatasi gangguan penglihatan bukan akibat katarak seperti kelainan refraksi, retinopati diabetikum, glaukoma, retinopati prematuritas, dan low vision. Khusus untuk kelainan refraksi prioritasnya adalah menjamin terkoreksinya penglihatan anak usia sekolah yang mengalami kelainan refraksi.

Survei Kesehatan Indonesia (SKI) yang diselenggarakan Kementerian kesehatan pada tahun 2023, hasilnya menunjukkan disabilitas atau ketidakmampuan penglihatan dialami 0,6 persen penduduk. Sedangkan 11,7 persen penduduk menggunakan alat bantu penglihatan  kacamata, lensa kontak, dan lensa tanam.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82/2020, mengenai penanggulangan gangguan penglihatan ditetapkan target pada tahun 2030 tercapai penurunan prevalensi gangguan penglihatan sebesar 25 persen dari prevalensi di tahun 2017. (Penulis adalah staf pengajar dan Akademi Refraksi Optisi Kartika Indra Persada Jakarta)

(Oleh :  Dr. Paulus Januar)

Meimonews.com – Mata merupakan suatu indra terpenting dalam bekerja. Betapa tidak,  penelitian menunjukkan gangguan penglihatan yang paling ringan sekali pun dapat mengurangi akurasi kerja hingga 22 persen serta menurunkan produktivitas sekitar 10 persen.  Sebaliknya, penggunaan kacamata koreksi pada orang yang mengalami gangguan penglihatan kelainan refraksi ternyata dapat meningkatkan produktivitas sampai 22 persen.

Saat ini, di seluruh dunia terdapat sekitar 160,7 juta orang angkatan kerja yang menderita gangguan penglihatan taraf sedang hingga parah. Selanjutnya, gangguan penglihatan tersebut bila tidak diatasi dapat berisiko terjadinya kehilangan penglihatan.

Padahal menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 90 persen kehilangan penglihatan sebenarnya dapat dicegah. Sebagian besar penyakit mata dapat disembuhkan, paling tidak perkembangannya dapat dihambat, terutama bila dilakukan deteksi dan penanganan sejak dini.

World Sight Day 2023
Mungkin tidak banyak yang mengetahui, Hari Penglihatan Sedunia (World Sight Day) setiap tahun diperingati pada hari Kamis kedua bulan Oktober. Tahun ini berlangsung pada 12 Oktober 2023 dan tema yang ditetapkan adalah Love Your Eyes At Work (Sayangi mata anda di tempat kerja).

Tema tersebut ditetapkan badan internasional untuk pencegahan kebutaan IAPB (International Agency for the Prevention of Blindness) yang setiap tahunnya secara internasional mengkoordinasikan kegiatan World Sight Day. Berdasar tema tersebut diharapkan diberikannya prioritas yang memadai bagi kesehatan mata, serta tersedianya pelayanan kesehatan mata yang terjangkau bagi para pekerja.

Diharapkan kondisi kerja yang kondusif bagi kesehatan mata seperti penerangan yang cukup, kesempatan istirahat untuk menghindari ketegangan mata (eye strain), dan juga fasilitas peralatan proteksi terhadap gangguan penglihatan. Serta pula dilaksanakannya protokol gawat darurat bila terjadi kecelakaan kerja yang mengenai organ penglihatan pekerja.

Patut disadari, gangguan penglihatan tidak saja menurunkan produktivitas, namun juga berpengaruh terhadap kualitas hidup dan motivasi kerja. Selain itu gangguan penglihatan dapat pula menimbulkan depresi serta menghambat relasi sosial pekerja.

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan pada arahan dalam rangka Hari Penglihatan Sedunia 2023 mengharapkan agar dunia usaha memperhatikan kesehatan mata para pekerjanya.

Pada pernyataan yang disampaikan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Eva Susanti, dikemukakan bahwa edukasi dan informasi untuk menjaga kesehatan penglihatan di tempat kerja perlu dilakukan secara masif agar masyarakat dapat terhindar dari gangguan penglihatan.

Kementerian Kesehatan dalam memperingati Hari Penglihatan Sedunia mengupayakan peningkatan kepedulian dalam memberikan penyuluhan, kampanye dan sosialisasi melalui media sosial, serta mengadakan seminar dan bakti sosial. Termasuk mengajak para pekerja melakukan deteksi dini dengan memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan, terutama ketika merasakan gejala gangguan penglihatan.

Gangguan Kesehatan Mata di Tempat Kerja
Selama ini kesehatan mata di tempat kerja kerap diabaikan. Kenyataan menunjukkan, gangguan kesehatan mata di tempat kerja dapat berakibat hingga hilangnya penglihatan.

Menurut laporan Organisasi Pekerja Internasional (ILO), pada 2021 di seluruh dunia terdapat sekitar 13 juta orang yang mengalami gangguan penglihatan akibat kerja. Sebanyak 3,5 juta orang per tahun mengalami cedera dan kecelakaan kerja pada organ penglihatannya.

Dengan demikian penting untuk melakukan pencegahan gangguan kesehatan mata di tempat kerja. Sebenarnya sekitar 9 dari 10 gangguan kesehatan mata di tempat kerja dapat dicegah.

Terdapat berbagai faktor risiko yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan mata di tempat kerja. Faktor risiko tersebut seperti pekerjaaan yang memerlukan intensitas penglihatan, bekerja menangani obyek pekerjaan dalam jarak dekat yakni kurang dari 50 cm (near work), ataupun membaca teks yang ukurannya kecil, apalagi saat ini semakin berkembang penggunaan layar digital dalam bekerja dengan menggunakan komputer, laptop, maupun hand-phone.  Belum lagi ruang kerja dengan penerangan yang kurang, maupun posisi kerja yang tidak sesuai dengan ergonomi penglihatan.

Terdapat pula pekerjaan yang berisiko mengiritasi terhadap organ penglihatan seperti pada pekerjaan proses industri, serta penggunaan laser, radiasi, dan bahan kimia yang berbahaya. Termasuk pula risiko paparan yang dapat menimbulkan gangguan penglihatan seperti kondisi kerja yang berdebu, serta terpapar bahan yang infeksius.

Faktor risiko tersebut dapat menimbulkan penyakit mata akibat kerja. Berbagai penyakit mata akibat kerja yang berpotensi terjadi ataupun meningkat intensitasnya antara lain: kelainan refraksi, katarak, age related macular degeneration (ARMD), konjungtivitis, keratitis, dry eye syndrome, infeksi mata, dan trauma mata.

Kelainan refraksi banyak terjadi pada pekerja yang banyak melakukan aktivitas bekerja jarak dekat, dan pada penggunaan layar digital dengan durasi tinggi.  Risiko katarak akan meningkat bila mata terpapar radiasi atau kalau mengalami trauma.

Age Related Macular Degeneration (ARMD) merupakan degenerasi makula karena penuaan namun akan meningkat risikonya bila terkena paparan sinar dari komputer atau hand-phone.

Konjungtivitis yang merupakan radang pada konjungtiva dapat terjadi karena paparan bahan kimia seperti zat alkali, bahan pewarna, klorin, dan bahan kosmetik.

Keratitis yaitu radang pada kornea mata dapat terjadi pada orang yang dalam bekerja banyak terpapar sinar ultra violet seperti pada pekerja las dan petugas laboratorium.

Dry eye syndrome atau mata kering banyak terjadi pada mereka yang banyak bekerja menggunakan layar digital serta pada orang yang bekerja di ruang AC dengan intensitas tinggi.

Infeksi organ mata akan terjadi bila terpapar bahan yang infektius di tempat kerja. Trauma mata dapat terjadi karena masuknya benda asing, atau pun terkena bahan kimia, dan radiasi.

Berdasarkan kenyataan terdapatnya gangguan penglihatan akibat kerja, maka dalam rangka pencegahan dan perlindungan kesehatan mata pekerja, perlu dilakukan upaya yakni pertama, mengidentifikasi dan menghindari faktor risiko yang dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan mata pekerja.

Kedua, penatalaksanaan prosedur serta penggunaan peralatan perlindungan terhadap faktor risiko yang dapat membahayakan kesehatan mata pekerja. Ketiga, edukasi dan pelatihan kesehatan dan keselamatan kerja yang berkaitan dengan kesehatan mata pekerja. Keempat, pelayanan kesehatan mata bagi pekerja, termasuk penyediaan kacamata koreksi bagi pekerja yang mengalami kelainan refraksi.

Perkembangan mutahir dalam kesehatan mata di tempat kerja adalah dampak perubahan pola kerja akibat pandemi Covid-19. Dalam hal ini Covid-19 telah menimbulkan perubahan drastis dalam kehidupan masyarakat.

Perubahan yang signifikan adalah peningkatan intensitas penggunaan layar digital dalam bekerja dengan menggunakan komputer, laptop, maupun handphone.

Penggunaan layar digital yang berkepanjangan bila tidak dilakukan secara seksama dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mata. Dampak negatif penggunaan layar digital yang tidak terkendali selain dapat berakibat meningkatnya kelainan refraksi juga terutama menimbulkan CVS (Computer Vision Syndrome) atau disebut juga Digital Eye Strain.

CVS adalah memburuknya kondisi kesehatan mata akibat tingginya intensitas penggunaan layar digital. CVS ditandai dengan sekumpulan gejala berupa mata menjadi lelah, nyeri, kering, tegang, serta penglihatan kabur dan sulit fokus.

Mencegah CVS dilakukan dengan cara menggunakan layar digital dengan penerangan yang cukup, pada jarak yang ideal yaitu sekitar 50-60 cm dari layar, serta posisi kerja yang ergonomis. Sebaiknya juga dibatasi waktu penggunaan layar digital (screen time) sesuai dengan anjuran maksimal 6-8 jam sehari bagi orang dewasa.

Dalam mengendalikan dampak buruk penggunaan layar digital terdapat pula anjuran 20 – 20 – 20. Setiap kali menggunakan layar digital selama 20 menit, usahakan beristirahat selama 20 detik, dengan memandang obyek yang berjarak minimal 20 feet atau sekitar 6 meter.  (Penulis adalah dosen ARO KIP Akademi Refraksi Optisi Kartika Indra Persada Jakarta)

Oleh : Dr Paulus Januar, drg, MS, CMC

Meimonews.com – Maret 2023 sudah 3 tahun Covid-19 berkecamuk. Meski dikatakan telah mereda, namun patut dilakukan refleksi  apakah Covid-19 akan berakhir serta bagaimana selanjutnya.

Kasus Covid-19 pertama kali ditemukan pada Desember 2019 di Wuhan-Cina.  Selanjutnya, Covid-19 menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Pada 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Covid-19 sebagai pandemi, dan pada bulan yang sama Covid-19 pertama kali ditemukan di Indonesia.

Sejak itu, bergulir kisah derita panjang dan masif malapetaka pandemi Covid-19. Tidak ada satu negara pun yang siap menghadapinya, hingga tak pelak lagi jatuh banyak korban dan terancam runtuhnya sistem pelayanan kesehatan.

Suatu permasalahan utama dalam menghadapi Covid-19 adalah virusnya yang cepat bermutasi mengubah diri. Dimulai varian Alpha (B.1.1.7) yang muncul pada akhir 2019, kemudian pada akhir 2020 berkembang varian Delta (B.1.617.2) yang ganas dan memakan banyak korban di seluruh dunia.

Selanjutnya, pada akhir 2021 terdapat varian Omicron (B.11.529) yang meluas namun tak terlalu ganas. Terakhir terdapat varian Arcturus (XBB.1.16) yang ditemukan pada Maret 2023 serta kini mendapatkan perhatian serius karena telah melanda sejumlah negara.

Namun, pada saat yang sama dengan merebaknya pandemi Covid-19 juga berlangsung perjuangan heroik untuk mengatasinya, meski dengan keterbatasan sumber daya dan dalam suasana ketidaktahuan akan penyakit yang tiba-tiba mucul. Menghadapi pandemi Covid-19 menjadi tonggak sejarah perjalanan peradaban umat manusia dalam menjawab tantangan zaman.

Pencegahan penyebaran Covid-19 dijalankan secara massal terutama dalam bentuk memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak serta mencegah kerumunan dan membatasi mobilitas. Bersamaan dengan itu, walau penuh kesulitan dikembangkan metode penatalaksanaan pasien Covid-19, seraya secara tanggap darurat dilakukan mobilisasi pelayanan kesehatan.

Selain pengembangan pelayanan kesehatan, juga dilakukan penelitian genomik untuk menelusuri perihal virus SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19. Berkat penelitian yang secara meluas dilakukan di berbagai tempat, pada akhir 2020 berhasil ditemukan vaksin untuk mencegah Covid-19 dan segera dilakukan vaksinasi massal di seluruh dunia.

Menghadapi Petaka
Hingga akhir Maret 2023, di seluruh dunia jumlah kumulatif kasus Covid-19 sebanyak 761,4 juta dengan kematian 6,8 juta orang. Sedang di Indonesia tercatat 6,7 juta kasus Covid-19 dengan kematian 161 ribu orang meninggal.

Dalam hal Covid-19, ternyata Indonesia jauh lebih baik dibanding Amerika Serikat yang pelayanan kesehatannya dapat dikatakan lebih baik. Di Amerika Serikat terdapat 106,2 juta kasus Covid-19 yang menyebabkan 1,15 juta kematian. Berdasarkan jumlah penduduk Amerika Serikat sebanyak 331 juta, berarti sekitar sepertiga penduduk terkena Covid-19.

Berdasarkan perbandingan dengan penduduk Indonesia yang 273,5 juta, bila tingkat penyakit Covid-19 seperti di Amerika Serikat, maka di Indonesia akan terdapat 87,8 juta kasus Covid-19 dengan kematian 954,4 ribu orang.

Kenyataan keadaan Indonesia yang jauh lebih baik, diperkirakan karena masyarakat Indonesia jauh lebih patuh menjalankan protokol pencegahan Covid-19.

Covid-19 bukan hanya penyakit yang menyerang tubuh namun juga menimbulkan dampak terhadap seluruh sendi kehidupan masyarakat.Demi mencegah penyebaran Covid-19 mengakibatkan kegiatan serta mobilitas mengalami pembatasan, dan dampak selanjutnya terjadi perlambatan ekonomi yang diikuti antara lain dengan banyak orang kehilangan pekerjaan dan peningkatan kemiskinan.

Terhadap permasalahan sosial yang timbul akibat pandemi Covid-19 segera mau tak mau harus dilakukan antisipasi untuk menghadapinya. Berbagai skema bantuan sosial dijalankan negara-negara di dunia. Serta juga secara signifikan muncul solidaritas sosial masyarakat untuk membantu warga di lingkungannya yang terdampak Covid-19.

Covid-19 tidak hanya permasalahan kesehatan semata, melainkan menjadi permasalahan seluruh sektor masyarakat. Dengan demikian penanggulangannya dijalankan dengan strategi dan upaya yang komprehensif serta melibatkan semua pihak.

Berkat kerja keras tanpa mengenal lelah untuk mencegah maupun mengatasinya, kini penularan Covid-19 telah menurun drastis. WHO memperkirakan saat ini sekitar 90% penduduk dunia telah memiliki imunitas terhadap Covid-19, terutama karena vaksinasi maupun juga karena pernah terkena.

Point of No Return
Memasuki tahun ke empat pada 2023, meski telah mereda namun Covid-19 tetap merupakan permasalahan kesehatan masyarakat. Diperkirakan keadaaan tidak akan kembali lagi seperti sebelum terjadinya pandemi, hingga dikenal istilah normal baru (new normal) untuk mendeskripsikan tatanan di masa mendatang.

WHO memperkirakan pada tahun 2023 akan terjadi transisi yang signifikan. Diharapkan tingkat penularan akan dapat ditekan serendah mungkin, dan pengembangan sistem pelayanan kesehatan dapat mengatasi Covid-19 secara terintegrasi dan berkesinambungan.

Tapi bagaimanapun Covid-19 tetap akan senantiasa berada di tengah kehidupan umat manusia. Meski sangat sedikit, namun di sana-sini penularan Covid-19 masih terjadi. Kemudian kalau tidak berhati-hati, tidak mustahil akan muncul varian baru virus SARS-CoV-2.

Kewaspadaan terhadap kemungkinan manifestasi Covid-19 di masa depan tidak dapat diabaikan. Dengan demikian upaya pencegahan penularan Covid-19 tetap harus selalu dijalankan. Surveilans serta vaksinasi harus pula tetap dilakukan.

Selain itu, pengembangan sistem pelayanan kesehatan untuk mitigasi maupun penatalaksanaan Covid-19 juga perlu dilakukan. Serta tetap perlu pula senantiasa melakukan tindakan mengatasi misinformasi bahkan hoaks mengenai Covid-19.

Pandemi lain tidak mustahil akan terjadi di masa mendatang, walau kini tidak diketahui bentuknya dan dari mana asalnya. Dengan demikian belajar dari pengalaman menghadapi Covid-19 perlu dikembangkan ketahanan kesehatan untuk mengatasi serangan permasalahan kesehatan yang di masa depan bisa saja terjadi.

Pandemi Covid-19 menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya kesehatan sebagai unsur utama kehidupan masyarakat. Namun juga dengan jelas terlihat bahwa permasalahan kesehatan dapat berpengaruh terhadap seluruh sektor kehidupan masyarakat.

Dengan adanya Covid-19 pola interaksi berubah dengan lebih banyak menggunakan teknologi dari tempat yang terpisah dan berkurang kesempatan bertemu langsung. Kenyataan ini meningkatkan interkoneksi orang-orang dengan lokasi yang berbeda namun membawa konsekuensi perubahan dalam pola komunikasi sosial dan kebersamaan.

Pelaksanaan pendidikan dengan merebaknya Covid-19 mengalami perubahan drastis dengan dijalankan secara daring baik pada pendidikan dasar, menengah, hingga perguruan tinggi. Hal ini diperkirakan akan mengubah model pendidikan serta perkembangan diri peserta didik di masa depan.

Meski Covid-19 kini telah mereda, namun kehidupan masyarakat telah mengalami perubahan dan tidak dapat kembali lagi seperti sebelum berlangsungnya pandemi. Bahkan peningkatan penggunan teknologi seperti internet, sosial media, bisnis online, dan juga telemedicine yang diperkirakan akan berkembang di masa mendatang, tapi dengan adanya Covid-19 semakin mengalami percepatan perwujudannya.

Selanjutnya, Covid-19 tampaknya tak akan berakhir, namun kini relatif lebih dapat dikendalikan. Kenyataan yang menumbuhkan optimisme, peradaban umat manusia selama ini senantiasa mampu mengatasi ancaman yang membahayakan dirinya, serta membangun tata kehidupan baru yang berbeda dengan sebelumnya.

Setelah bangkit dari serangan Covid-19, kehidupan masyarakat menjadi semakin inklusif, berdaya tahan, dan berkelanjutan (sustainable).  Semoga hari-hari depan yang cerah cemerlang segera menjelang ! (Penulis adalah Pakar Kesehatan Masyarakat)

Oleh :

Dr. Paulus Januar, drg, MS, CMC

Meimonews.com – Dewasa ini informasi menjadi komoditas yang amat penting. Bahkan ada yang berpendapat, kini informasi telah menjadi salah satu kebutuhan pokok.

Disadari ataupun tidak, ternyata porsi terbesar informasi kita peroleh melalui indra penglihatan. Apalagi dengan semakin berkembang pesat teknologi informasi seperti smartphone, komputer, tablet, video, sosial media, dan pelbagai media komunikasi visual lainnya.

Diperkirakan lebih dari 80 % informasi kita peroleh melalui indra penglihatan. Dengan demikian penting sekali untuk menjaga agar organ mata tetap sehat hingga dapat berfungsi secara baik.

Indra penglihatan bukan hanya untuk mendapatkan informasi, namun lebih jauh lagi dengan penglihatan yang baik akan menentukan kualitas hidup serta banyak hal yang dapat dilakukan.

Dengan penglihatan yang baik akan membuka jenjang karir, sosialisasi diri, menumbuhkan rasa percaya diri, produktivitas, dan kesejahteraan hidup.

Mata juga merupakan organ yang diperlukan untuk menampilkan ekspresi seseorang sehingga dapat lebih dipahami oleh orang lain. Selain itu mata merupakan unsur yang sangat penting untuk estetika tubuh serta penampilan.

Namun kenyataan menunjukkan, kesehatan mata masyarakat tidaklah baik-baik amat. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di seluruh dunia sekitar 2,2 miliar orang mengalami gangguan penglihatan, dan di antaranya 1 miliar kasus sebenarnya bisa dicegah.

Pada tingkat global, gangguan penglihatan terbanyak dalam bentuk kelainan refraksi yang tidak terkoreksi (49 %), kemudian katarak (26 %) dan Age related Macular Degeneration (AMD, 4 %). Sedangkan penyebab kebutaan terbanyak adalah katarak (34,47 %), diikuti kelainan refraksi yang tidak terkoreksi (20,26 %), dan glaukoma (8,30 %).

Diperkirakan lebih dari 7 juta orang menjadi buta setiap tahunnya, dan setiap 5 detik bertambah 1 orang buta. Dari mereka yang mengalami kebutaan sekitar 80 % sebenarnya dapat dicegah hingga tidak perlu terjadi (avoidable blindness).

Kenyataan menunjukkan, walau sebagian besar dialami oleh mereka yang berumur di atas 50 tahun, namun gangguan penglihatan dapat mengenai siapa pun pada segala usia termasuk anak-anak. Dengan demikian gangguan penglihatan perlu menjadi perhatian hingga dapat dilakukan pencegahan sejak dini.

Program Kesehatan Mata
Dalam meningkatkan taraf kesehatan mata sangat penting terselenggaranya pelayanan kesehatan mata yang bermutu dan terjangkau serta tentu saja tidak membebani dari segi finansial.

Namun sayangnya, pelayanan kesehatan umumnya lebih difokuskan pada upaya kuratif untuk mengobati dan merawat mereka yang telah menderita penyakit mata. Sedangkan peningkatan taraf kesehatan serta pencegahan penyakit mata cenderung mendapatkan skala prioritasnya yang rendah. Padahal peningkatan taraf kesehatan serta pencegahan penyakit mata perlu menjadi bagian penting dalam pelayanan kesehatan.

Menghadapi masalah gangguan penglihatan, World Health Assembly (WHA) dalam sidangnya pada mei 2021 telah menetapkan target global kesehatan mata untuk dicapai pada 2030.

Target WHA tersebut adalah peningkatan cakupan efektif koreksi kelainan refraksi sebesar 40%, dan peningkatan cakupan efektif operasi katarak sebesar 30 %. Memang beberapa pihak menganggap target tersebut terlalu ambisius, namun tetap akan sekuat tenaga diusahakan perwujudannya.

Kesehatan Mata di Indonesia
Hasil Survei Kebutaan Rapid Assessment of Avoidable Blindness  (RAAB) tahun 2014 – 2016 di lima belas provinsi di Indonesia menunjukkan tingkat kebutaan pada penduduk usia  di atas 50 tahun mencapai 3 %. Penyebab kebutaan terbanyak adalah katarak yang merupakan 77,7 % dari seluruh kasus kebutaan. Penyebab kebutaan lainnya meliputi glaukoma, kelainan refraksi, gangguan retina (terutama diabetik retinopati), dan abnormalitas kornea (terutama xerophthalmia).

Data tersebut menjadi acuan program penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan di Indonesia dengan melakukan penanggulangan katarak dan kelainan refraksi, serta juga gangguan penglihatan lainnya.

Dalam rangka mengatasi masalah kesehatan mata, kemudian Kementerian Kesehatan menetapkan Peta Jalan Penanggulangan Gangguan Penglihatan 2018-2030. Target yang hendak dicapai denan peta jalan tersebut adalah: Tahun 2030 setiap orang di Indonesia mempunyai penglihatan optimal dan dapat sepenuhnya mengembangkan potensi dirinya.

Peta jalan tersebut menjadi  acuan penanggulangan masalah kesehatan mata guna mewujudkan Indonesia Sehat Mata 2030. Dalam hal ini untuk menanggulangi masalah kesehatan mata perlu dilakukan edukasi, sosialisasi, dan pemberdayaan masyarakat agar menjaga kesehatan mata, serta juga tersedianya pelayanan kesehatan untuk pemeriksaan, deteksi dini, maupun perawatan gangguan penglihatan.

Sayangi Mata Anda
Setiap tahun sejak 1998, pada hari kamis minggu ke dua bulan oktober diperingati sebagai Hari Penglihatan Sedunia (World Sight Day). Tahun ini peringatan tersebut berlangsung pada 13 oktober 2022.

Tahun 2022 ini Hari Penglihatan Sedunia diselenggarakan dengan tema Sayangi Mata Anda (love your eyes). Tema ini merupakan kesinambungan keberhasilan peringatan tahun lalu dalam mendorong masyarakat menjaga kesehatan matanya, serta juga untuk menumbuhkan kesadaran mengenai permasalahan yang dihadapi lebih satu miliar orang di dunia yang mengalami gangguan penglihatan namun tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan.

Pada Hari Penglihatan Sedunia, masyarakat diingatkan mengenai pentingnya indra penglihatan serta kemungkinan mengalami masalah kesehatan mata. Tahun ini secara khusus IAPB melancarkan kampanye untuk melakukan pemeriksaan mata yang sesuai dengan anjuran sebaiknya rutin dilakukan paling tidak 2 tahun sekali.

Dalam rangka Hari Penglihatan Sedunia tahun 2022, IAPB menggalang tekad bersama agar warga masyarakat melakukan pemeriksaan mata. Targetnya di seluruh dunia sebanyak 5 juta orang mendeklarasikan tekad untuk melakukan pemeriksaan mata.

Sebagaimana setiap tahun telah dilaksanakan, di Indonesia juga diselenggarakan berbagai kegiatan dalam rangka Hari Penglihatan Sedunia 2022. Kegiatan yang dijalankan antara lain ceramah, seminar, siaran pers, perlombaan, serta bakti sosial kesehatan mata. Malah di Surabaya akan diadakan bakti sosial yang rencananya akan dicatatkan sebagai rekor nasional untuk peserta terbanyak pemeriksaan mata dan penyediaan kacamata.

Kiranya dengan Hari Penglihatan Sedunia 2022 akan memberikan dampak nyata semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat mengenai permasalahan kesehatan mata, serta pentingnya keterlibatan untuk bersama-sama mengatasi gangguan penglihatan. Dengan demikian akan dapat menjadi titik tolak untuk meningkatkan pelaksanaan program menuju tercapainya Indonesia Sehat Mata. (Penulis adalah pengajar kesehatan masyarakat pada Akademi Refraksi Optisi Kartika Indra Persada – Jakarta)

Oleh :

Dr. Paulus Januar, drg, MS, CMC

Meimonews.com – Pandemi Covid-19 dampaknya melanda seluruh kehidupan masyarakat, termasuk di bidang kedokteran gigi. Profesi kedokteran gigi mengalami disrupsi yang tidak ringan. Meski Pandemi Covid-19 belum usai, namun di samping upaya mengatasinya, perlu dilakukan pemulihan pelayanan kedokteran gigi, bersamaan dengan pemulihan seluruh sektor kehidupan masyarakat lainnya.

Telah hampir tiga tahun dunia dilanda Covid-19. Kasus pertama Covid-19 terdeteksi di Wuhan Cina pada Desember 2019. Sejak itu, Covid-19 menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Pada 30 Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Covid-19 sebagai kedaruratan kesehatan masyarakat internasional (Public Health Emergency of International Concern), kemudian pada 11 Maret 2020 ditetapkan sebagai pandemi.

Di Indonesia kasus Covid-19 pertama kali ditemukan pada 2 Maret 2020. Selanjutnya, dengan cepat penyakit tersebut menyebar ke pelbagai wilayah Indonesia. Hingga 12 September 2022, di seluruh Indonesia telah 6.394.340 orang terkonfirmasi Covid-19 dan 157,787 di antaranya meninggal.  Sedang di seluruh dunia sebanyak 603.711.760 orang telah terkena dan 6.484.136 orang meninggal karena Covid-19.

Disrupsi Kedokteran Gigi
Pandemi Covid-19 telah menimbulkan disrupsi terhadap pelayanan kedokteran gigi yang dapat dikatakan terparah di zaman modern ini. Dokter gigi dalam menjalankan profesinya rentan terhadap penularan Covid-19. Walaupun sebenarnya selama ini dokter gigi telah melakukan upaya pengendalian infeksi secara ketat, namun dengan merebaknya Covid-19 ternyata tidaklah memadai.

Hal ini menyebabkan jatuhnya korban yaitu dokter gigi yang terkena Covid-19 ketika menjalankan praktiknya, serta terdapat pula yang hingga meninggal. Akibatnya, dokter gigi menutup praktiknya, atau pun hanya secara terbatas pada kasus gawat darurat yang tidak dapat ditunda perawatannya. Di kalangan masyarakat juga terdapat rasa kuatir untuk menjalani pelayanan kedokteran gigi.

Keadaan ini menyebabkan hambatan aksesibilitas untuk mendapatkan pelayanan kedokteran gigi. Sedang di lain pihak, kebutuhan untuk mendapatkan pelayananan kedokteran gigi merupakan kebutuhan yang memang nyata terdapat di masyarakat.

Normal Baru Kedokteran Gigi
Agaknya praktik kedokteran gigi di masa mendatang tidak akan kembali seperti sebelum Pandemi Covid-19. Pelayanan kedokteran gigi mengalami perubahan seturut perkembangan yang terjadi. Prosesnya tidak mudah karena sama sekali tidak ada persiapan menghadapi bencana Covid-19 yang tiba-tiba muncul.

Namun, profesi kedokteran gigi tidak hendak larut terpuruk dalam disrupsi yang terjadi, melainkan berusaha bangkit mengatasinya. Berkembang pola pelayanan kedokteran gigi di era normal baru yang terjadi karena Covid-19.

Berkembang upaya pelaksanaan perlindungan pasien maupun dokter gigi pada pelayanan kedokteran gigi. Selain itu, berkembang pula penggunaan teledentistry, semakin disadari perlunya pencegahan penyakit gigi dan mulut, serta meningkatnya pemahaman mengenai pentingnya kesehatan dalam kehidupan masyarakat.

Kini pelayanan kedokteran gigi sudah mulai dibuka kembali, namun dengan pengamanan yang ketat untuk menghindari penularan Covid-19 terutama dalam bentuk penggunaan APD (Alat Pelindung Diri), peralatan untuk mengendalikan aerosol pada kegiatan praktik dokter gigi, penggunaan disinfektans secara meluas, dan tindakan pengendalian infeksi lainnya. Vaksinasi Covid-19 yang dilakukan terhadap tenaga kesehatan gigi serta masyarakat luas juga mendukung dibukanya kembali pelayanan kedokteran gigi.

Selain tindakan untuk pengendalian infeksi dalam pelaksanaan praktik kedokteran gigi juga semakin dikembangkan kedokteran gigi dengan tindakan invasif seminimal mungkin (minimally invasive dentistry). Hal ini dilakukan untuk menjamin keselamatan bukan hanya tenaga kesehatan namun juga pasien pada pelaksanaan praktik kedokteran gigi.

Berkembang teledentistry yakni pelayanan kedokteran gigi menggunakan peralatan komunikasi untuk menghubungkan pasien dengan dokter gigi. Dengan teledentistry tidak lagi seluruh pelayanan kedokteran gigi perlu berlangsung secara tatap muka.

Teledentistry mengisi kebutuhan pada era pandemi Covid-19 ketika pelayanan kedokteran gigi terbatas, atau bahkan sama sekali tidak dapat dilaksanakan. Terjadinya pandemi Covid-19 telah mengakselerasi peningkatan perkembangan teledentistry. Keadaan ini diperkirakan akan berlangsung terus meskipun kelak pandemi Covid-19 telah berlalu.

Teledentistry bermanfaat pula untuk proses seleksi terhadap pasien yang sebenarnya tidak perlu melakukan kunjungan ke klinik gigi. Selanjutnya teledentistry efektif pula untuk melaksanakan pendidikan kesehatan gigi serta pencegahan penyakit gigi dan mulut dengan cakupan wilayah serta jumlah peserta yang meluas.

Covid-19 menyebabkan kesulitan dalam aksesibilitas untuk mendapatkan pelayanan kedokteran gigi. Pada situasi ini tumbuh kesadaran mengenai semakin pentingnya pencegahan penyakit gigi dan mulut. Sebenarnya, penyakit gigi dan mulut tidak perlu terjadi, apalagi sampai menimbulkan dampak yang parah, bila dilakukan upaya pencegahan.

Peningkatan kesadaran terhadap pencegahan penyakit gigi dan mulut perlu ditanggapi dengan baik oleh kalangan profesi kedokteran gigi. Perlu dirancang program pencegahan penyakit gigi dan mulut secara lebih intensif dan meluas. Inilah kesempatan untuk meningkatkan kegiatan seperti pendidikan kesehatan gigi bagi masyarakat, anjuran menyikat gigi secara teratur dan benar, pengendalian diet, hingga fluoridasi serta juga pemeriksaan untuk deteksi dini penyakit gigi dan mulut,

Dampak Covid-19 yang menimbulkan distrupsi dalam seluruh sektor kehidupan masyarakat juga semakin menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kesehatan dalam kehidupan masyarakat. Dengan tumbuhnya kesadaran akan pentingnya kesehatan, terdapat pula peluang bagi profesi kedokteran gigi untuk menumbuhkan pemahaman masyarakat bahwasanya kesehatan gigi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh kesehatan tubuh.

Pulih Bersama dengan Senyum Sehat Indonesia
Kementerian Kesehatan sejak 2011 menetapkan tanggal 12 September sebagai Hari Kesehatan Gigi Nasional (HKGN). Hari Kesehatan Gigi Nasional merupakan momen untuk menggugah kesadaran mengenai peran kesehatan gigi dalam menunjang kesejahteraan masyarakat serta menggalang kebersamaan untuk mengatasi permasalahan kesehatan gigi dan mulut.

Kebersamaan bukan hanya di kalangan profesi kedokteran gigi, namun juga dengan tenaga kesehatan lainnya, pemerintah, para pengambil keputusan, LSM, perguruan tinggi, dunia usaha, serta seluruh masyarakat. Dengan keterpaduan bersama diharapkan melahirkan tekad bersama untuk ditingkatkannya upaya kesehatan gigi.

Tahun ini, dalam kaitan dengan bangkit dan pulihnya kehidupan masyarakat dari Pandemi Covid-19, maka tema HKGN 2022 adalah: Pulih Bersama Dengan Senyum Sehat Indonesia. Tema ini menunjukkan komitmen profesi kesehatan gigi untuk berperan serta dalam upaya seluruh masyarakat untuk bangkit dan pulih dari pandemi Covid-19.

Pelbagai kegiatan dilakukan dalam rangka HKGN 2022 seperti bakti sosial pemeriksaan dan pengobatan gigi, seminar, penyuluhan, perlombaan, kampanye kesehatan gigi, dan juga talk show serta konperensi pers. Dalam rangka hari kesehatan gigi dilakukan pula program penjangkauan masyarakat secara meluas melalui media massa maupun media sosial.

Walau Pandemi Covid-19 belum berakhir, namun kegiatan HKGN di tahun 2022 ini lebih leluasa dilakukan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Meski demikian harus tetap taat menjalankan protokol kesehatan.

Hal yang menonjol pada HKGN tahun 2022 ini adalah PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia) menyelenggarakan kegiatan sikat gigi massal bagi siswa sekolah yang dijalankan di seluruh wilayah Indonesia. Dicanangkan kegiatan sikat gigi massal diikuti sekitar 700 ribu siswa dari 2.521 sekolah dasar di seluruh Indonesia, serta dicatatkan sebagai rekor MURI.

Kegiatan sikat gigi massal dijalankan sesuai dengan kesadaran untuk pencegahan penyakit gigi yang semakin tumbuh di era Pandemi Covid-19. Selain itu pada HKGN 2202 juga dijalankan bentuk baru yaitu kegiatan bakti sosial berupa teledentistry yang semakin berkembang akhir-akhir ini.

Kegiatan HKGN 2022 merupakan dedikasi kalangan profesi kesehatan gigi untuk pemulihan bersama kehidupan masyarakat. Pulih bersama termasuk pula di bidang kesehatan gigi sebagai bagian integral seluruh kehidupan masyarakat. Dengan pulihnya pelayanan kesehatan gigi berarti akan semakin mewujudkan senyum sehat Indonesia!

Selamat Hari Kesehatan Gigi Nasional 2022. (Penulis: Dr Paulus Januar, drg, MS, CMC – anggota Pengurus Besar PDGI)

(Oleh : Dr. Paulus Januar, drg, MS)

Meimonews.com – Peran tenaga kesehatan (nakes) dalam mengatasi keraguan terhadap vaksinasi Covid-19 sangat dibutuhkan. Masih terdapat cukup banyak masyarakat yang tidak menghendaki divaksin Covid-19.Meimonews.com

Vaksinasi Covid-19 merupakan salah satu cara pengendalian pandemi melalui  kekebalan komunitas atau herdiimmunity.

Survei oleh Kementerian Kesehatan RI bersama dengan UNICEF dan WHO di 34 provinsi di Indonesia pada September 2020 menunjukkan bahwa sekitar 64,8 responden setuju menjalani vaksinasi Covid-19, 27,6 persen ragu-ragu, bahkan 7,6 persen menolak.

Survei SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting) pada Desember 2020 menunjukkan hanya 37 persen warga yang bersedia menjalani vaksinasi Covid-19, sedangkan 17 persen tidak akan mengikuti, dan 40 persen masih pikir-pikir.

Hasil ini merupakan penurunan dari survei SMRC sebelumnya dimana yang bersedia sebesar 54 persen. Kemudian, survei IPI (Indikator Politik Indonesia) pada Februari 2021 menunjukkan masyarakat yang bersedia di vaksin hanya 55 persen.

Vaccine hesitancy
Keraguan terhadap vaksinasi, yang dalam literatur disebut vaccine hesitancy, menurut SAGE (Strategic Advisory Group of Expert on immunization) dari WHO didefinisikan sebagai penundaan penerimaan ataupun penolakan terhadap vaksinasi, meski tersedia pelayanan untuk vaksinasi.

Menurut WHO, keraguan terhadap vaksinasi merupakan salah satu dari 10 ancaman kesehatan global.

Faktor utama timbulnya keraguan terhadap vaksinasi Covid-19 adalah marak beredarnya informasi yang tidak benar hingga menimbulkan ketidakpercayaan. Penelitian oleh Nuzhath et al menyimpulkan bahwa terdapat 7 tema informasi negatif yang menimbulkan keraguan terhadap vaksinasi Covid-19.

Pertama, meragukan keamanan dan efektivitas vaksin. Kedua, menerima informasi yang tidak benar mengenai vaksin. Ketiga, menganggap terdapat teori konspirasi, seperti wabah dan vaksin merupakan tipu muslihat dari industri farmasi. Keempat, memiliki ketidakpercayaan terhadap para ilmuwan dan pemerintah.

Kelima, merasa enggan untuk mendapatkan vaksinasi. Keenam, meyakini bahwa kewajiban vaksinasi merupakan pelanggaran terhadap kebebasan individu. Ketujuh, memiliki alasan keyakinan/religi.

Media sosial, seperti facebook, twitter, youtube, whats up, dan website,  paling sering menjadi sarana beredar informasi yang tidak benar.

Meningkatnya arus informasi mengenai kesehatan terutama melalui internet dan media sosial sebenarnya bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, tetapi dapat pula berakibat buruk bila yang beredar adalah informasi yang tidak benar.

Apalagi Covid-19 sebagai penyakit yang tiba-tiba muncul dan banyak hal yang tidak diketahui, sehingga mudah memunculkan dugaan spekulatif.
Covid-19 bukan hanya pandemi, tetapi juga menimbulkan infodemi atau lubernya informasi secara cepat dan meluas. Di era infodemi Covid-19, yang beredar dapat merupakan informasi yang faktual, tapi sayangnya banyak juga yang tidak benar.

Berdasarkan kenyataan ini, terutama dari kalangan profesi kesehatan dan otoritas kesehatan, perlu senantiasa memantau dan menangkal bila terdapat informasi yang tidak benar.

Peran Nakes
Berdasarkan berbagai survei mengenai Covid-19, termasuk yang dilakukan di Indonesia, ternyata tenaga kesehatan (nakes) dan medis merupakan sumber informasi yang paling diandalkan masyarakat.

Masyarakat memandang tenaga kesehatan terutama tenaga medis merupakan pihak yang paling dapat dipercaya dan paling memahami mengenai vaksinasi.

Tenaga kesehatan dapat berperan penting dalam mengatasi keraguan masyarakat terhadap vaksinasi Covid-19 agar terbentuk herd immunity, yaitu dalam bentuk mengkomunikasikan informasi yang tepat, menumbuhkan motivasi dan perilaku, memberikan keteladanan, dan melakukan kolaborasi  dengan dokter sejawat atau dengan pihak lain.

Mengkomunikasikan Informasi
Penyampaian informasi yang benar dan jelas dibutuhkan untuk menepis keraguan maupun misinformasi.
Tenaga kesehatan seharusnya dapat menyampaikan informasi mengenai keamanan, efektivitas, proses pembuatan, serta cara pemberian vaksin Covid-19.

Termasuk akibat sampingan dan persiapan untuk mengatasinya, serta perlu juga disampaikan mengenai vaksinasi yang harus dilakukan secara luas untuk tercapainya kekebalan komunitas.

Agar menumbuhkan kepercayaan masyarakat, informasi perlu disampaikan secara transparan, akuntabel, konsisten, dan sesuai dengan konteks sosial masyarakat.

Informasi dapat dikomunikasikan dengan cara yang konvensional, seperti pada waktu konsultasi pasien atau melalui penyuluhan kesehatan.

Namun, saat ini berkembang pula metode yang sangat efektif untuk diseminasi informasi melalui media sosial.

Mengenai Covid-19 selama ini masyarakat telah dibanjiri informasi dari berbagai sumber serta seringkali satu sama lain saling bertentangan.

Tenaga kesehatan sebagai yang dipercaya masyarakat berperan penting untuk menyampaikan informasi yang benar, komprehensif, serta bermanfaat.

Selain itu Informasi mengenai Covid-19 sangat dinamis dan selalu berkembang, sehingga tenaga kesehatan perlu senantiasa memutakhirkan diri.

Menumbuhkan Motivasi dan Perilaku
Seringkali, hanya dengan mengetahui informasi saja tidak cukup untuk membuat seseorang melakukan sesuatu.

Kesalahan yang sering terjadi adalah bila seseorang sudah mengetahui maka dianggap sudah pasti akan mengerjakannya, tetapi sebenarnya masih dibutuhkan seperangkat modalitas untuk mewujudkan perilaku dari pengetahuan.

WHO mengembangkan kerangka teori model BeSD (Behavioral and Social Drivers of vaccination) untuk mengatasi keraguan terhadap vaksinasi, serta meningkatkan pelaksanaan vaksinasi.
Menurut Model BeSD tersebut, motivasi merupakan inti dari perilaku menjalani vaksinasi.

Motivasi merupakan sikap bersedia dan ingin menjalani vaksinasi. Motivasi terbentuk dari apa yang dipikirkan dan dirasakan seseorang, juga dari proses sosial yang terdapat di lingkungan seseorang. Terutama menyangkut pertimbangan manfaat dan risiko vaksinasi, serta kepercayaan pada tenaga kesehatan yang melakukan vaksinasi.

Dengan demikian, untuk menumbuhkan motivasi perlu dikembangkan pola pikir dan lingkungan sosial yang sesuai.

Setelah adanya motivasi, baru akan terwujud perilaku menjalani vaksinasi bila vaksin tersedia dan dapat dijangkau.
Selain itu, juga dibutuhkan tersedianya pelayanan vaksinasi yang bermutu, aman, dan efektif.

Memberikan keteladanan
Mengingat tenaga kesehatan dipercaya oleh masyarakat, maka keteladannya akan menjadi penting dalam mendukung pelaksanaan vaksinasi Covid-19.

Selain itu, diperlukan pula keteladanan menjalani vaksinasi dari pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, pemimpin agama, serta para pesohor.

Masyarakat lazimnya akan mengikuti perilaku dari tokoh yang dipandangnya memberikan makna bagi dirinya. Keteladanan terutama dalam bentuk menjalani vaksinasi.

Lebih jauh lagi dapat pula dalam bentuk menceritakan alasan menjalani vaksinasi, pengalaman menjalani vaksinasi serta apa yang terjadi setelahnya.

Melakukan kolaborasi

Tenaga kesehatan dalam mendukung vaksinasi Covid-19 dapat secara individual, tetapi yang lebih baik bila dijalankan bersama dalam suatu kolaborasi.

Kolaborasi dapat dilakukan dengan para sejawat dalam kegiatan organisasi profesi.

Secara meluas kolaborasi dapat juga dilakukan dengan otoritas kesehatan, media massa, tokoh agama, tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, akademisi, dan kalangan usaha.

Kolaborasi dengan berbagai unsur masyarakat akan sangat menguntungkan. Selain akan memperluas jangkauan, juga mereka dapat menyampaikan pesan sesuai dengan konteks sosial yang dikuasainya.

Kerjasama luas yang mengikutsertakan para tokoh masyarakat akan semakin menambah kepercayaan masyarakat terhadap program vaksinasi Covid-19.

Meski mungkin tidak terlalu mudah dalam pelaksanaanya, tetapi kolaborasi diharapkan dapat mendukung vaksinasi Covid-19 terlaksana secara serasi, selaras, dan saling menunjang.

Kesimpulan
Vaksinasi massal merupakan suatu cara yang efektif untuk mengakhiri pandemi Covid-19, tetapi di tengah masyarakat masih terdapat keraguan terhadap vaksinasi Covid-19 tersebut.

Keraguan tersebut terutama karena ketidakpercayaan yang ditimbulkan dari informasi yang tidak benar.

Tenaga kesehatan terutama tenaga medis paling diandalkan masyarakat dalam rangka menyampaikan informasi dan pemahaman mengenai vaksinasi Covid-19.

Tenaga kesehatan mengemban peranan penting dalam mengatasi keraguan terhadap vaksinasi Covid-19 dalam bentuk mengkomunikasikan informasi, menumbuhkan motivasi dan perilaku, keteladanan.

Selain itu menyelenggarakan program kegiatan dalam kolaborasi dengan kalangan profesi kesehatan maupun juga bersama-sama dengan masyarakat luas. (Penulis adalah Pakar Kesehatan Masyarakat dan Purna Dosen Kesehatan Masyarakat FKG Universitas Moestopo)