Meimonews.com -;Ada hal menarik disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait dengan adanya media sosial (medsos) sekarang ini saat berpidato pada Sidang Tahunan MPR-RI dan Sidang Bersama DPR-RI dan DPD-RI dalam rangka HUT ke-76 Proklamasi Kemerdekaan RI.
Pada sidang yang digelar di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023) ini, Presiden menjelaskan mengapa sampai beliau menyampaikan rasa sedihnya itu pada bagian awal pidatonya.
Dikemukakan, posisi Presiden tidak senyaman yang dipersepsikan. Ada tanggung jawab besar yang harus diemban. Ada banyak permasalahan permasalahan rakyat yang harus diselesaikan.
“Dengan adanya media sosial seperti sekarang ini, apapun bisa sampai ke Presiden, mulai dari masalah rakyat di pinggiran, sampai kemarahan, ejekan, bahkan makian dan fitnah bisa dengan mudah disampaikan,” ujar Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi tahu ada yang mengatakan dia bodoh, plongo-plongo, tidak tahu apa-apa, Firaun, tolol. Tapi, itu menurutnya, tidak masalah. Sebagai pribadi, diterimanya saja. “Tapi yang membuat saya sedih, budaya santun dan budi pekerti luhur bangsa ini tampak mulai hilang,” tandasnya.
Kebebasan dan demokrasi, sebut mantan Gubernur DKI Jakarta ini, digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah. Polusi di wilayah budaya ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia.
Diakui, memang tidak semua seperti itu. Presiden Jokowi melihat mayoritas masyarakat juga sangat kecewa dengan polusi budaya tersebut. Cacian dan makian yang ada justru membangunkan nurani bangsa untuk bersatu menjaga moralitas ruang publik, bersatu menjaga mentalitas masyarakat sehingga kita bisa tetap melangkah maju, menjalankan transformasi bangsa menuju Indonesia Maju, menuju Indonesia Emas 2045.
Terkait pula dengan beliau yang dikait-kaitkan dengan memasuki tahun politik ini, Presiden Jokowi menegaskan, ia bukan ketua umum partai politik, bukan juga ketua koalisi parpol.
Sesuai ketentuan undang-undang, yang menentukan capres dan cawapres adalah partai politik dan koalisi partai politik. “Jadi saya mau bilang, itu bukan wewenang saya. Bukan wewenang Pak Lurah,” tandasnya.
Penyebutan Pak Lurah, ini berhubungan dengan yang sedang tren di kalangan politisi dan partai politik, dimana setiap ditanya siapa Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, jawabannya adalah belum ada arahan dari Pak Lurah.
“Saya sempat berpikir, siapa ‘Pak Lurah’ ini . Sedikit-sedikit kog Pak Lurah. Belakangan saya tahu, yang dimaksud Pak Lurah ternyata saya. Saya jawab saja, saya bukan Lurah, saya Presiden Republik Indonesia. Ternyata Pak Lurah itu kode,” ujar Presiden Jokowi. (elka)